I Love You, Mama

delionquin
Chapter #15

Chapter 14: Suka, Tapi. . .

Kuliah adalah tahap di mana aku sadar bahwa hidup sebagai orang dewasa itu tidaklah menyenangkan.

Peralihan seorang siswi SMA menjadi mahasiswi terasa cukup berat bagiku. Ketika masuk kuliah, aku mulai dituntut untuk bersikap mandiri. Apa-apa serba sendiri, semua harus atur sendiri, mulai dari jadwal kelas, pembagian kelompok, hingga bimbingan. Dosen tidak mau repot mengurusi tugas dan nilai mahasiswanya. Aku pun belajar setelah berkuliah bahwa di dunia ini ada begitu banyak tipe orang dengan berbagai jenis latar belakang yang berbeda. Tidak sedikit yang berbeda agama, suku, hingga pemikiran. Sehingga untuk bersosialisasi butuh yang namanya pengertian dan toleransi yang besar. Sungguh dunia perkuliahan seperti membawaku masuk ke dunia baru, jauh dari zona nyaman.

Kegiatan di kampus pun sejujurnya cukup menyenangkan. Ada UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), komunitas, hingga Badan Eksekutif Mahasiswa. Aku sebenarnya tidak terlalu aktif berorganisasi, tapi aku tertarik untuk berpartisipasi dalam beberapa event kampus serta UKM Budaya. Terkadang aku akan menghabiskan waktu di perpustakaan sampai jadwal kelas berikutnya. Terkadang aku duduk bersama teman-teman seusai kelas sore berakhir. Terkadang kami pergi menonton film di bioskop jika kelas berakhir saat hari masih petang. Hari-hari itu terasa sangat menyenangkan, lambat laun aku jadi sangat menikmatinya.

Namun ada satu hal lain yang paling membuatku bersemangat untuk datang ke kampus.  Karena lagi-lagi aku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Pada seorang anak laki-laki bernama Rio.

Oke, aku dulu sempat bertekad tidak akan lagi jatuh cinta. Tapi kali ini aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri! Rio seumuran denganku, namun kami mengambil jurusan yang berbeda. Dia mengambil jurusan Jurnalistik, sementara aku mengambil Desain Grafis. Kami bertemu ketika mengambil mata kuliah umum Pendidikan Kewarganegaraan di jadwal yang sama. Temanku Harvey ternyata sekelas dengannya. Begitu kami bertemu untuk pertama kalinya, aku langsung tertarik melihat tatapan matanya yang teduh dan dalam. Sikapnya juga begitu sopan dan dewasa. Mungkin bisa dibilang itu cinta pada pandangan pertama.

Rio anak yang pintar dan mudah didekati. Tubuhnya cukup tinggi, rambut pendeknya terpotong rapi, sikapnya sopan, tutur katanya halus dan tenang. Dia sungguh tipeku. Mungkin jika dibanding Georgio, Rio tidak terlalu menonjol. Tapi dia punya pesona yang berbeda. Bahkan kudengar cukup banyak mahasiswi satu fakultas yang menyukainya diam-diam.

Awalnya kami hanya sering mengobrol. Lambat laun kami mulai saling menyapa jika tak sengaja bertemu. Sampai akhirnya kami bertukar nomor dan saling mengikuti akun game masing-masing. Pertemuan kami di kelas sangatlah menyenangkan. Bahkan ada masanya aku merasa lebih senang pergi ke kampus dibanding tinggal di rumah.

Suatu hari kami diminta oleh dosen untuk membentuk kelompok kecil dalam mengerjakan tugas. Tugasnya adalah melakukan presentasi tentang isi salah satu bab dari buku pelajaran. Aku menjadi satu tim dengan Rio dan Harvey karena kami sering duduk berdekatan. Ditambah teman dekatku Nabila, kami lengkap menjadi satu tim beranggotakan empat orang.

Ketika harus membagi tugas, aku langsung berinisiatif mengambil peran.“Gue yang bikin halaman tiga puluh dua sampai tiga puluh tiga. Nanti saling maju presentasi pas bagian masing-masing aja ya,” pungkasku semangat.

“Oke. Gue tiga halaman selanjutnya ya. Kalau lu Ri? Mau yang mana?” tanya Harvey.

“Kalau gitu gue bantu Kiara deh. Soalnya bagian yang itu lumayan panjang. Punya lu kan banyak gambarnya, Har.”

Harvey terkekeh. “Iya juga sih.”

“Berarti gue sisanya? Asyik, sedikit nih,” celetuk Nabila kegirangan. Aku memeriksa lembar halaman bukuku, dan memang hanya tersisa satu halaman untuknya. Nabila paling tidak suka disuruh mencari data. Dia lebih menyukai peran seperti mengetik atau berpresentasi. Aku bersedia saja menerima pembagian kurang adil itu. Justru aku bersyukur karena memilih bagian yang paling banyak, sehingga bisa mengerjakannya bersama Rio. Berbekal alasan tugas, aku menghampiri Rio seusai kelas dan berkata, “Ri, nanti kita bahas tugas yang tadi di chat aja ya? Kali aja ada yang bikin bingung.”

“Boleh. Nanti malem ya,” balasnya.

Aku bersorak gembira dalam hati,bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendekatinya.

Setelah bertukar nomor, kami berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, aku disambut oleh pemandangan Papa yang sedang asyik menelepon. Dia terdengar seperti sedang bertengkar, entahlah. Aku tidak peduli dia sedang menelepon siapa, mungkin perempuan simpanannya atau rekan kerjanya. Yang kulakukan adalah buru-buru makan, mandi, lalu berganti pakaian santai yang nyaman. Setelah berbaring di ranjang, aku menyalakan ponsel genggamku dan membuka aplikasi chat. Mulailah aku mengetik kata demi kata dan mengirimnya ke Rio.

Hi Ri, mau bahas tugas sekarang nggak?

Dadaku berdegup kencang menanti balasan. Meski percakapan itu sangatlah sederhana, tapi bisa berbincang dengannya adalah hal yang sungguh membuatku bahagia. Lagipula ini pertama kali aku bisa berbincang via chat dengannya. Hal yang bahkan tidak pernah bisa kulakukan dengan Georgio dulu.

Tidak perlu menanti terlalu lama untuk mendapat jawaban dari Rio. Hanya berselang sekitar tiga menit, sebuah notifikasi pesan muncul di layer ponselku.

Hi Ki. Boleh kok sekarang, mau voice call?

Jantungku bukan lagi berdetak cepat, tapi berdentum dahsyat seperti hendak meledak. Aku tidak menyangka Rio justru akan mengajakku berbincang via telepon! Tentu saja aku yang sudah bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan menyanggupi ajakan itu.

Selang beberapa detik kemudian, ponselku pun berdering. Sebelum menjawabnya, aku menarik nafas berulang kali untuk menenangkan diri. “Halo…?” sapaku gugup.

“Hai Ki. Maaf ya gue ajak voice call. Lu lagi nggak sibuk, kan?”

Aku menggeleng cepat meski Rio tak dapat melihatnya. “Nggak sibuk kok! Gue baru selesai mandi. Lu udah di rumah?”

“Udah, ini baru selesai makan. Kita bahas halaman berapa dulu, nih?”

Entah berapa kali bibirku mengembang sepanjang membahas tugas itu. Setiap kali Rio berbicara, aku mendengarkan dengan penuh perhatian dan membalasnya antusias. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu jam kami habiskan untuk berdiskusi sekaligus berbincang ringan tentang topik lain. Tepat pada pukul tujuh malam, Rio akhirnya menutup perbincangan kami, “Oke deh, berarti beres ya tugas kita. Tinggal tambahin bagian yang udah kita bahas masing-masing. Thank you ya, Kiara.”

“Sama-sama, Ri. Kalau nanti perlu apa-apa hubungi gue lagi aja, ya? Gue selalu online kok sampai jam sebelas,” balasku riang.

“Siap. Sampai ketemu besok, ya,” Rio mengakhiri panggilan itu.

Setelah sambungan terputus, aku berguling-guling di atas ranjang sambil mengikik kegirangan. Muncul lagi getaran dan sensasi janggal yang dulu pernah kurasakan saat menyukai Georgio. Tapi kali ini rasanya jauh lebih mendebarkan. Mungkin karena sudah lama aku tidak menyukai seseorang, dan dari obrolan kami aku merasa cocok dengannya.

Lihat selengkapnya