I Love You, Mama

delionquin
Chapter #16

Chapter 15: Penyesalan

Jika bicara tentang hobi, aku pasti akan menjawab ‘aku suka bermain game’!

Sejak kecil, hidupku lekat dengan banyak konsol game, mulai dari Game Boy, Playstation, hingga komputer. Saking hobinya, aku bermain hampir setiap hari. Kebetulan Papa juga senang bermain game, karena itu dia dengan senang hati membelikan konsol atau CD game terbaru untukku.

Setelah masuk kuliah, aku mulai keranjingan bermain game online. Dalam game itu, aku bisa bertemu dengan berbagai teman dari mancanegara. Karena sering bermain bersama, kami bahkan membuat grup percakapan daring. Mama sering memarahiku karena bermain sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Namun selain bermain, aku tidak punya kegiatan menyenangkan yang bisa kulakukan di rumah. Mama sibuk menonton drama, sedangkan Papa sibuk entah berbuat apa di luar sana. Saat itu Kakak masih berkuliah di luar kota, jadi aku tidak punya teman untuk menghabiskan waktu bersama. Lagipula ketika Papa dan Mama beradu mulut, aku bisa mengalihkan perhatianku dengan bermain menggunakan earphone. Pokoknya hobi itu sangat cocok untukku.

Kehidupanku tidaklah berubah. Papa masih berselingkuh meski setiap hari pulang ke rumah. Dia masih sering membuatku kesal dengan mengusiliku atau meledekku seperti anak kecil. Aku memang tidak dekat dengannya, tapi sesekali kami masih mengobrol ringan. Dia juga sering membelikan hamburger favoritku dan game yang kuiinginkan. Hal-hal seperti itu yang membuatku masih merasakan adanya kehadiran seorang ayah di rumah. Meski dia sering membuatku jengkel, namun terkadang aku masih mengandalkannya.

Sejak masuk kuliah, kami berempat tidur dalam satu kamar. Alasannya adalah untuk berhemat AC. Sedih, memang. Namun itu akibat kondisi ekonomi kami yang tidak stabil. Sebenarnya aku tahu Mama sengaja membiarkan kami tidur bersamanya karena tidak ingin hanya berduaan saja dengan Papa. Awalnya mereka pisah ranjang, namun tiba-tiba Oma mengalami serangan stroke dan terpaksa dirawat di rumah kami. Karena tidak ada lagi kamar yang bisa dipakai, Terpaksa Papa dan Mama kembali tidur di kamar yang sama. Namun tentu saja Mama menolak dan malah menyeretku dan Kakak untuk tidur bersama mereka.

 Beruntung kamar tidur kami cukup luas, sehingga muat untuk ditiduri beramai-ramai. Biasanya aku dan Kakak tidur di ranjang, sedangkan Papa dan Mama tidur beralaskan kasur lipat. Papa di sisi kiri ranjang sementara Mama di sisi kanan ranjang. Pengaturan posisi itu tidak pernah berubah selama bertahun-tahun. Jujur saja jika ada teman yang datang bermain ke rumah, aku malu mengakui bahwa aku tidur dengan seluruh anggota keluargaku. Apabila mereka bertanya, aku selalu mencari alasan seperti AC yang sedang rusak atau rumah yang sering kebanjiran sehingga tidak bisa tidur di kamar sendiri.

Malam itu kami bersiap-siap tidur seperti biasa. Begitu masuk ke dalam kamar, aku menemukan Papa sudah berbaring nyaman di kasur lipatnya. Karena lampu sudah dimatikan, aku pun merebahkan diri di atas ranjang dan berniat mengambil selimut. Namun ternyata selimutku menghilang, membuatku kebingungan mencarinya.

“Selimutku di mana sih?” gumamku pada diri sendiri. Ternyata Papa terbangun mendengarnya, dan dia menyerahkan selimut yang sedang dipakainya, yang ternyata adalah selimutku. “Nih, Kia. Pakai aja.”

Aku baru sadar bahwa udara AC malam itu cukup dingin. Entah mengapa aku merasa iba padanya. Mungkin terdengar aneh ketika aku bilang ‘entah mengapa’, tapi memang jarang sekali aku bersimpati pada Papa karena hubungan kami yang buruk. Hanya saja udara malam itu memang cukup dingin, dan aku kasihan membayangkan Papa yang menggigil karena kedinginan. Oleh sebab itu, aku menolak tawaran selimut yang Papa sodorkan. “Udah pakai aja. Aku bisa pakai selimut yang lain.”

“Nggak usah, Kia aja,” Papa bersikeras mengembalikan selimutku. Akhirnya aku terpaksa  menerimanya. Saat membaringkan tubuhku di ranjang, aku berpikir bahwa ternyata Papa masih punya setitik kepedulian padaku. Ya, Papa yang biasanya lebih mementingkan diri sendiri dan kekasih simpanannya dibanding kami ternyata masih mau mengalah.

Lambat laun aku menyadari bahwa sebenarnya Papa cukup peduli padaku. Dia tahu bahwa aku sering kesal dengannya, namun masih sering membagiku makanan enak. Dia yang paling sering menegurku jika aku membaca sambil tiduran. Dia pun peduli pada masalah jerawatku dan beberapa kali membawaku ke dokter kulit. Terkadang aku merasa bahwa Papa masih bersikap layaknya seorang ayah, meski banyak kesalahan yang telah diperbuatnya.

Dan jujur, terkadang aku merasa keterlaluan pada Papa. Sering membentaknya, sering memakinya. Aku menjadi anak durhaka yang sama sekali tidak punya rasa hormat pada orang tua. Aku terlalu gengsi untuk jujur pada diriku sendiri bahwa aku menginginkan perhatiannya

Sampai suatu hari, aku merasakan firasat buruk ketika sedang duduk diam di rumah.

Firasat apa? Aku juga bingung menjelaskannya. Seperti ada hawa mengerikan yang membuat bulu kudukku berdiri dalam sekejap. Seperti ada yang membisikkan ‘kematian akan datang’ di pendengaranku. Aku seketika mendapat firasat dan pikiran bahwa di rumahku seseorang akan meninggal. Aneh bukan? Aku sendiri awalnya tidak percaya dan berpikir mungkin aku hanya terlalu banyak berimajinasi dan takut secara berlebihan. Tidak sampai beberapa hari kemudian ketika ponselku berdering sekitar pukul sebelas malam.

Saat itu aku sedang asyik bermain game. Tiba-tiba ponsel genggamku berbunyi nyaring di atas meja. Melihat nama yang tertera di layar adalah Papa, aku kembali meletakkannya dengan malas, mengira dia lupa membawa kunci dan memintaku membukakannya seperti biasa. Aku akan menyelesaikan game yang sedang kumainkan sebelum pergi membuka pintu, pikirku. Tapi lagi-lagi ponsel itu berdering, sehingga terpaksa kuhentikan aktivitas bermainku dengan perasaan gondok.

“Halo?” sapaku kesal. Aku berpikir suara Papa yang akan membalas. Namun dugaanku salah. Yang membalas adalah suara seorang pria asing yang tak pernah kudengar sebelumnya. “Halo selamat malam. Ini dengan anaknya Pak Hendra, ya?”

Seketika aku mengernyit. Siapa pria ini? Suaranya sangat asing, bahkan terdengar sopan. “Iya betul, ini siapa ya?”

“Saya anak buahnya Pak Hendra. Sekarang Pak Hendra ada di rumah sakit, tadi tiba-tiba pingsan setelah makan tongseng kambing. Sepertinya Bapak terkena stroke.”

Lihat selengkapnya