Berita Papa dalam kondisi kritis tersebar cepat. Satu per satu keluarga kami berdatangan ke rumah sakit, mulai dari Tante dan Om, Nenek dan Kakek, hingga teman-teman dekat kami. Mereka semua memberikan dukungan mental dengan menghibur dan menemani kami berjaga di rumah sakit. Mama tidak tidur sama sekali sejak Papa masuk ICU. Meski aku sempat ngotot ingin ikut menginap di rumah sakit, Mama bersikeras menyuruhku pulang untuk beristirahat sekalian membawakannya pakaian ganti. Akhirnya aku menurut dan pulang ke rumah dengan perasaan kalut. Sepanjang malam, aku tidak bisa tidur karena memikirkan nasib Papa. Aku tahu Mama juga belum sempat tidur dan harus berjaga semalaman. Karena itu, aku kembali ke rumah sakit pagi-pagi buta. Sebelumnya aku diminta menjemput Kakak yang baru tiba di Jakarta setelah semalam diberitahu secara mendadak bahwa Papa masuk ICU. Kemudian kami berangkat bersama menuju rumah sakit.
Awalnya Kakak bersikap seperti tak ada yang terjadi. Dia bahkan sempat berbincang tentang kegiatannya selama di luar kota sebelum terpaksa pulang ke Jakarta. Namun begitu tiba di kamar ICU dan melihat Papa yang terbaring lemah dengan berbagai peralatan medis yang menopangnya, sikap Kakak berubah total. Tak kusangka dia akan meraung histeris. Dia pun bereaksi keras dan menolak mentah-mentah ketika dokter menyarankan kami untuk mencabut alat medis yang memompa jantung Papa. Dia menjerit, ‘itu sama saja dokter bilang kalau Papa sudah mati! Kalau benda itu dicabut, detak jantung Papa akan berhenti total! Dokter mau bilang kalau Papa saya sudah tidak bisa diselamatkan, kan?! Alat itu sebenarnya nggak membantu, kan?!’
Aku tidak menguasai istilah medis atau ilmu kedokteran, tapi dari penjelasan dokter aku mengerti bahwa kecil kemungkinan Papa bisa diselamatkan. Dengan mencabut alat itu atau tidak, detak jantungnya cepat atau lambat akan berhenti. Namun diriku yang naif menolak untuk menyerah berharap. Selama jantung Papa masih berdetak meski lemah, aku mempercayai yang namanya mukjizat.
Kami diminta menunggu kondisi Papa sepanjang hari itu. Saat duduk di kantin rumah sakit, aku berkata pada Kakak, "Pokoknya aku nggak mau terima usul dokter untuk menyerah terlalu cepat. Siapa tahu ada mukjizat."
Kakak pun sependapat, dia membalas, "Sama. Pokoknya aku nggak akan biarin mereka cabut alat medis Papa. Dia masih hidup, dia pasti bisa sembuh. Ya kan Dek?"
Aku mengangguk setuju. Kami sama-sama berharap Papa bisa bangun meski dalam kondisi lumpuh. Entah bagaimana caranya mengurus Papa jika dia nantinya akan lumpuh, kami tidak peduli. Saat itu keselamatan Papa jauh lebih penting dari apapun.
Saat hari beranjak petang, Mama berpesan bahwa dia hendak beristirahat di dalam mobil karena belum tidur sejak kemarin. Aku dan Kakak akhirnya duduk bersama keluarga lainnya di ruang tunggu ICU. Kami diajak mendoakan kesembuhan Papa dan kerap dihibur oleh banyak orang. Dengan banyaknya dukungan morel dari keluarga, aku semakin percaya bahwa Papa bisa sembuh. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, pikirku.
Hari semakin larut mengantarkan malam. Aku sedang duduk di ruang tunggu ICU bersama saudara-saudaraku, ketika mendadak Kakak berlari datang dan memanggilku dengan panik. “Dek, ayo ke ruang ICU! Papa kritis, Dek!”
Aku ingat betapa panik raut wajah Kakak saat itu. Sekujur tubuhku pun langsung gemetar memikirkan kondisi Papa yang memburuk. Tanpa ragu, aku mengikuti Kakak menuju ruang ICU. Di sana sudah ada Nenek, Mbak Ayu, dan beberapa kolega Papa yang lebih dulu tiba. Dokter menjelaskan pada kami bahwa detak jantung Papa mulai melemah meski alat medisnya masih terpasang. Kondisinya semakin kritis dan memburuk. Mendengar hal itu, Kakak menyuruhku pergi memanggil Mama yang masih tidur di dalam mobil. Aku menurut dan segera berlari keluar.