I Love You, Mama

delionquin
Chapter #18

Chapter 17: Selamat Tinggal

Rumah duka padat dan ramai pengunjung. Selain keluarga besar, semua kolega, tetangga, dan teman-teman Papa datang berkabung. Deretan rangkaian bunga memenuhi rumah duka. Mereka datang memberi penghormatan terakhir kepada Papa. Melihat banyaknya orang yang melayat, aku jadi sadar bahwa Papa memiliki banyak teman. Di mata orang lain, dia memang sosok yang supel dan senang bercanda. Dia juga dikenal suka membantu orang lain dan memberi mereka lowongan pekerjaan di kantornya. Itu sebabnya tak sedikit yang hadir berlinang air mata. Bahkan beberapa di antara mereka mengaku kehilangan sosok yang sangat baik dan menyenangkan seperti Papa.

Setiap kali tiba di rumah duka, aku selalu menyambangi peti Papa dan memegang tangannya. Mengusapnya lembut. Memandangi wajahnya untuk waktu yang lama agar aku tidak akan pernah melupakannya seumur hidup. Dulu aku tidak pernah mengecupnya, maka hari itu aku mengecup tangannya. Untuk pertama kali dalam seumur hidupku aku menunjukkan rasa sayangku padanya.

Beberapa hari setelah diinapkan di rumah duka, Papa akhirnya dikuburkan pada hari ketiga. Hari itu aku memandangi jasad Papa lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Meski wajahnya sudah tampak pucat dan membiru, namun dia terlihat seperti orang yang sedang terlelap dengan tenang. Ketika petinya ditutup, Mama merangkulku dan Kakak sambil berbisik, “Setelah ini kita sudah nggak bisa lihat Papa lagi ya.” Dan ucapan itu berhasil membuatku menangis untuk kesekian kalinya.

Bukan berarti pemakaman Papa berjalan lancar tanpa drama. Di rumah duka, Tante Mia yakni adik perempuan Papa bercerita bahwa kekasih simpanan Papa mengirim pesan dan meminta izin untuk datang melayat. Tante Mia yang membaca pesan itu langsung marah besar dan membalasnya dengan makian. “Gara-gara kamu kakak saya meninggal! Gara-gara kamu menuntut dia terus, dia stres sampai terkena serangan stroke! Awas kamu kalau berani datang ke sini. Saya akan habisi kamu!”

Tante Mia memang adik Papa yang paling galak dan berani. Dia salah satu saudara Papa yang membenci perselingkuhan itu dan tidak menyukai Dewi. Lagipula perempuan waras mana yang tidak bersimpati dengan hancurnya rumah tangga orang lain? Aku merasa beruntung karena keluarga besar Papa tidak mendukung perselingkuhan itu sama sekali.

Karena ancaman Tante Mia, Dewi tidak berani menampakkan wajahnya di pemakaman. Namun kudengar kabar bahwa dia datang diam-diam setelah prosesi pemakaman berakhir dan setelah kami semua pulang meninggalkan kuburan. Mengejutkannya, yang ternyata membantunya serta memberitahu lokasi pemakaman Papa ternyata adalah Mbak Ayu!

Ternyata selama ini mereka sudah saling mengenal. Salah satu sopir kantor Papa, Pak Wisnu, bercerita di pemakaman bahwa Dewi sering berkontakan dengan Mbak Ayu dan hubungan mereka cukup dekat. Mbak Ayu bersikap baik di depan kami, namun berbeda sikap di belakang. Dia menyalahkan Dewi di depan kami, tapi mau berteman dengannya ketika Papa masih hidup. Sungguh perempuan bermuka dua.

Saat tahu tentang hal itu, aku merasa jijik dengan Mbak Ayu. Dia bahkan masih bisa mengelak ketika Mama menanyakan hal itu padanya melalui telepon. “Saya kan terpaksa Mbak, karena saya dikenalkan pada perempuan itu oleh Pak Hendra. Masa saya tolak?”

“Tapi kenapa kamu bantu si Dewi datang ke pemakaman? Kamu tidak perlu berhubungan dengannya lagi, kan Pak Hendra sudah meninggal,” kata Mama dengan nada kecewa.

Mbak Ayu masih membela diri bahwa dia hanya ingin membantunya karena kasihan. Namun kami sudah terlanjur hilang kepercayaan dengannya. Aku bahkan sama sekali tidak ingin bertemu dengannya lagi.

Mama baru bercerita bahwa Mbak Ayu dan keluarganya pernah berseteru dengan Mama. Sepupu Papa alias ayah Mbak Ayu, pernah membawa kabur uang dagangan Mama. Mungkin karena sempat memojokkan ayahnya, mereka sekeluarga jadi tidak suka dengan Mama. Aku tidak tahu bahwa Mama diam saja meski uangnya sering dipinjam dan tidak dikembalikan. Boro-boro menagih, jumlah uangnya yang diambil orang lain saja dia sudah tidak ingat. Begitulah Mama, terlalu pemaaf sampai tidak pernah menagih utang orang lain padanya.

Lihat selengkapnya