Orang bilang kematian terkadang menjadi peristiwa yang merepotkan. Sama seperti acara syukuran, keluarga yang ditinggalkan malah harus repot mengurus segala keperluan seperti menyajikan santapan di rumah duka, menerima tamu, hingga sibuk menjawab pertanyaan orang-orang terkait penyebab berpulangnya almarhum.
Mungkin saja mereka semua peduli, mungkin juga tidak. Kematian terkadang menjadi ajang silahturami atau sekadar bentuk basa-basi. Namun siapa yang sungguh merasa sedih atas kematian almarhum? Tentu saja tak lain dan tak bukan adalah anggota keluarganya sendiri.
Bukankah seharusnya keluarga yang ditinggalkan yang dihibur? Bukankah seharusnya mereka tidak perlu repot bersalaman dengan tamu dan menjawab berbagai pertanyaan menyelidik mereka? Kalau boleh jujur, aku merasa lelah ketika kerabat datang dan melempar pertanyaan yang sebelumnya sudah kujelaskan berulang kali pada orang lain. Sesungguhnya aku hanya ingin duduk diam dan meratap, bukan meladeni mereka.
Setelah pemakaman, orang-orang mungkin akan melupakan peristiwa kematian Papa. Namun tidak dengan kami, keluarga yang ditinggalkan. Kami berduka hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu lamanya. Aku sendiri baru benar-benar bisa kembali beraktivitas normal setelah tiga bulan berlalu. Ternyata ada dan tidaknya Papa cukup memberi perbedaan. Tidak ada lagi yang mengusiliku di rumah, tidak ada lagi yang membuatku jengkel, tidak ada lagi yang aktif membetulkan lampu dan meraparasi peralatan rumah yang rusak, tidak ada lagi yang bisa kuandalkan untuk memanjat atap, dan tidak ada lagi lainnya.
Awalnya hari-hari itu menyesakkan. Aku baru sadar bahwa selama ini Papa memberikan cukup banyak kontribusi di rumah kami meski bukan berupa uang. Segalanya terasa lebih mudah saat dulu ada Papa. Kini semuanya harus kukerjakan sendiri.
Waktu pun berlalu dan tanpa terasa hari kelulusanku tiba. Wisuda menjadi acara yang kembali membuatku merindukan Papa dan berharap dia bisa datang melihatku. Tidakkah Papa yang gemar pamer kepada orang lain akan bangga melihat anaknya mendapat nilai cumlaude dan lulus tepat waktu? Sayangnya hal itu tidak pernah dapat terwujud. Kakak datang sebagai pengganti Papa dan menemani Mama menghadiri wisudaku. Kami foto bertiga sebagai kenang-kenangan tanpa kehadiran Papa. Hingga saat ini, setiap kali aku melihat foto itu terpajang di ruang tamu, aku membayangkan bagaimana jika Papa ada di tengah-tengah kami.
Tapi hidup tetap harus berjalan, sehingga aku tidak membiarkan diriku terlalu lama meratap. Yang berikutnya harus kupikirkan adalah masa depanku. Pekerjaan apa yang harus kutekuni? Aku lulus sebagai sarjana desain, tapi rasanya kemampuanku tidak sehebat teman-teman yang lain. Lagipula aku ini pendiam sekaligus pemalu, bagaimana caranya menghadapi interview kerja suatu hari nanti? Awalnya aku tidak begitu khawatir, karena kupikir aku punya kemampuan untuk lulus dengan skor tinggi. Berarti aku punya kompetensi untuk bekerja, pikirku.
Namun ternyata kenyataan hidup yang pahit baru menunjukkan taringnya begitu aku melakukan interview pertamaku. Interview pertamaku adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan. Jarak kantornya cukup jauh dari rumahku, kurang lebih menghabiskan dua jam perjalanan dengan motor. Lokasinya agak sulit diakses dan terpencil karena jauh dari jalan raya. Melihat kondisi seperti itu, seorang perempuan muda idealis sepertiku pun kaget dan enggan melanjutkan proses rekrutmen itu. Dengan naifnya aku berkeluh kesah pada sang pemilik usaha bahwa lokasinya sangat jauh dari rumah, dan setelah itu aku tidak meneruskan tahap seleksi, berpikir akan ada kesempatan pekerjaan lain yang lebih baik.
Tapi kenyataan bertentangan dengan harapan. Aku kerap gagal melalui proses rekrutmen. Kebanyakan berhasil pada tahap seleksi dokumen dan interview HRD, namun gagal setelah melalui interview user. Entah cara komunikasiku yang kurang baik, atau karena kemampuanku yang tidak cukup, aku selalu gagal mendapat pekerjaan. Ternyata benar kata orang tua zaman dahulu, bahwa mencari uang itu susah. Berkali-kali aku mendapat panggilan interview, namun semua berujung gagal. Berkali-kali aku pergi berbekal harapan, namun pulang tertunduk lesu. Berkali-kali aku pergi ke kamar mandi setelah interview dan menangis sendirian, mengutuk diriku sendiri yang tidak becus. Aku sungguh kehilangan semangat. Mengapa aku yang dulu pintar dalam pelajaran kini tidak bisa mendapatkan satu pekerjaan pun? Mengapa aku sangat payah? Mau taruh di mana mukaku ketika bertemu teman-teman nanti? Segala pikiran itu menggerus kepalaku hingga memberiku stres yang luar biasa.