I Love You, Mama

delionquin
Chapter #20

Chapter 19: Tuhan dan Rencananya

Penderitaan hidupku yang sebenarnya baru dimulai.

Selama ini menjadi seorang anak yang tidak punya tanggungan ternyata sangat menyenangkan. Tidak perlu susah payah bangun pagi, tidak perlu menaiki kereta yang luar biasa padat di rush hour, tidak perlu bekerja hingga lembur dan pusing memikirkan tugas yang belum selesai agar tidak menerima amukan bos, dan banyak hal lainnya. Dulu tugasku hanya belajar, bermain, makan, dan tidur. Kini saat dewasa, aku harus menghadapi kenyataan yang bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan rutinitasku sebelumnya.

Meski statusku masih trainee dengan masa percobaan, setiap hari aku mendapat tugas untuk mendesain. Entah itu poster, brosur, atau flyer. Aku pulang lebih dari jam enam sore setiap harinya dan menghabiskan waktu empat hingga lima jam pulang pergi. Sesampainya di rumah, aku hanya sempat mandi dan makan malam, lalu tidur secepatnya agar besok bisa bangun pukul lima pagi. Hari-hari itu terasa seperti neraka yang berkelanjutan, membuatku pening dan stres. Tak usah tanyakan berapa gaji yang kuterima. Menyentuh UMR saja tidak. Belum lagi bosnya cukup galak dan sering mempekerjakan kami lewat jam kerja. Setiap kali aku merasa lelah, aku mengeluh pada Mama dan bilang padanya ingin berhenti. Tapi Mama selalu marah jika aku mengeluh, katanya, “Kamu tahan dulu dong, jangan menyerah! Cari kerja itu nggak gampang Kia, kamu tahu sendiri kan?”

Tentu saja aku tahu cari uang sangatlah sulit. Orang-orang yang tidak punya kemampuan mumpuni ataupun relasi yang kuat akan susah bertahan hidup. Seketika aku menyesali keputusanku mengambil jurusan desain. Kemampuan desainku tidaklah sehebat itu, tapi dulu aku ngotot ingin mengambilnya. Lihat hasilnya sekarang. Jika aku mengambil jurusan hukum seperti arahan Mama dulu, mungkin aku bisa lebih sukses. Pikiran-pikiran itu terus menghantuiku hingga menurunkan kepercayaan diriku.

Aku memang anak yang sering pesimis dan rendah diri. Meski demikian, aku bertanggung jawab dan selalu bekerja sebaik mungkin. Tapi jika pekerjaan yang kujalani terasa sangat berat dan menyiksa, apa salahnya mengeluh dan ingin berhenti? Aku yakin seberat apapun, akan ada pekerjaan lain yang lebih baik. Namun Mama yang seorang boomer tidak berpikir demikian. Sekalinya dapat kerja, maka tidak boleh cepat berhenti dan lakukan yang terbaik. Itu prinsipnya sebagai seorang karyawan teladan yang telah bekerja secara loyal selama dua puluh lima tahun di sebuah perusahaan.

“Aku capek, Ma! Aku mau berhenti aja dan cari kerjaan lain. Magang lagi juga nggak apa-apa, daripada di sini!” keluhku pada Mama. Namun Mama yang mungkin juga tidak enak pada bosnya yang telah membantu, mengomeliku, “Jangan, Kia! Coba saja tahan dulu di situ. Belum juga satu tahun, kamu baru bekerja tiga bulan, kan? Kok cepat sekali menyerah?”

Lihat selengkapnya