I Love You, Mama

delionquin
Chapter #21

Chapter 20: Realita Setelah Dewasa

“Kia, masukkan bekalmu dong ke dalam tas!”

Ucapan itu senantiasa mengiringi pagi hariku. Sejak zaman sekolah bahkan hingga bekerja, Mama selalu memasak setiap pagi. Waktu dulu ada asisten rumah tangga, terkadang Mama bisa lebih bersantai. Namun setelah ekonomi keluarga kami memburuk dan tidak bisa lagi membayar asisten rumah tangga, dialah yang kerap berada di dapur untuk mengenyangkan perut kami.

Aku selalu pergi ke kantor dengan membawa bekal bergizi. Pasti ada nasi, lauk, dan sayur yang mengisi kotak bekalku. Bahkan terkadang Mama menyiapkan buah-buahan yang dia potong atau dijadikan jus. Tidak semua orang serajin Mama, bukan? Terkadang temanku hanya membawa nasi dan satu jenis lauk tanpa sayur. Bahkan banyak dari mereka yang jajan setiap hari. Setiap melihat kotak bekal makanku yang melimpah, teman kantorku akan berdecak kagum dan memberikan pujian atas usaha keras Mama setiap harinya.

Setelah memasak, Mama akan mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sehari-hari dia menaiki bus untuk pergi ke kantornya yang terletak di daerah Jakarta Utara. Rutinitas itu sudah berjalan belasan tahun, bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah. Aku tahu jaraknya sangat jauh, tapi Mama jarang mengeluh, seolah sudah terbiasa menjalani rutinitas seperti itu.

“Hari ini aku harus berangkat ke Kelapa Gading nih, ada acara kantor,” ceritaku pada suatu pagi. Mama yang sedang mengenakan jam tangannya membalas, “Terus kok belum berangkat? Emangnya nggak telat?”

“Datangnya boleh agak siang.”

“Oh, gitu. Berarti bisa bareng Mama dong perginya,” ujar Mama. Aku mengangguk dan memeriksa barang-barangku sebelum memesan ojek online.

Kami berdua tiba di halte hampir bersamaan, lalu berjalan menuju koridor halte untuk antre. Ternyata cukup banyak orang memadati halte pukul segitu. Bus yang kami naiki pun padat penumpang. Lantas kami harus berdesak-desakkan dengan para penumpang lainnya.

Aku melirik ke sekeliling. Tidak ada satupun kursi yang kosong. Pramusapa yang bertugas pun tidak memberikan bangku untuk Mama. Sama halnya dengan para penumpang yang duduk, tak satupun dari antara mereka peduli dengan keberadaan Mama. Karena tak kunjung mendapat bangku, akhirnya aku beringsut maju ke dekat pintu bis untuk menegur sang pramusapa, “Mas, itu ada ibu lansia. Bisa tolong bantu carikan bangku?”

Pramusapa laki-laki itu tampak sedikit terkejut, mungkin karena tidak menyangka ada seorang ibu lanjut usia di sana. Dia segera berseru lantang, “Maaf, boleh dibantu kursinya untuk lansia?”

Namun tetap tidak ada yang berdiri. Ada yang pura-pura tidur atau sengaja mendengarkan musik. Merasa jengkel, aku memelototi orang-orang yang duduk di sekitarku. Akhirnya ada seorang ibu yang bangkit berdiri, “Bu, sini Bu. Duduk di sini.”

Sama seperti Mama, Ibu itu sudah berambut putih. Dia juga lansia, namun bersedia memberikan kursi pada Mama. Lantas Mama segera menolaknya. “Jangan, ibu juga butuh duduk.”

Karena situasi itu mengundang banyak perhatian, akhirnya sang pramusapa langsung menyasar seorang perempuan muda yang duduk di deretan kedua dari pintu. “Mbak maaf, boleh kasih bangkunya untuk ibu ini?”

Perempuan muda itu tampak jutek. Dia berdecak kesal saat berdiri dan memberikan Mama bangkunya dengan setengah hati. Lalu kudengar dia bergumam, “Ini kan bangkunya warna biru, bukan bangku prioritas.”

Aku geram mendengar pernyataan itu dan langsung membalas, “Tapi yang duduk di bangku prioritas nggak ada yang muda, Mbak. Terus kalau ada yang prioritas belum dapet kursi gimana dong?”

Jujur aku kaget dan takjub dengan diriku sendiri karena mampu berbicara seperti itu. Aku yang pendiam dan pemalu biasanya lebih memilih untuk tidak terlibat pertengkaran. Namun karena situasi itu melibatkan Mama, aku tak bisa tinggal diam. Mama berusaha menenangkanku dengan berkata, “Sudah Dek, Mama juga sudah duduk kok ini,” sambil memegangi lenganku. Akhirnya aku berdiri dalam diam sepanjang perjalanan hingga kami tiba di halte tujuan.

Setelah turun dari bus, aku berkata pada Mama, “Kenapa sih ada orang yang nggak peka sama orang lain? Padahal Mama jauh lebih tua, tapi nggak ada yang punya empati sedikitpun untuk kasih kursinya. Nyebelin.”

Mama tertawa mendengarku menggerutu. “Yah, di dunia kan ada banyak macam tipe orang, Ki. Mama kadang sering kok berdiri karena nggak dapat kursi. Kalau ada yang baik baru deh dikasih. Gitu lah, namanya hidup.”

Keningku berkerut. “Jadi Mama berdiri sampai kantor? Nggak ada yang kasih duduk sepanjang jalan?”

Lihat selengkapnya