Terlahir dari keluarga sederhana dan berkekurangan membuat Mama harus bekerja keras sejak remaja. Dia terbiasa berhemat demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Boro-boro beli baju, uangnya selalu habis terpakai untuk membeli bahan makanan setiap hari. Mama baru bisa menikmati uang hasil kerja kerasnya untuk keperluan pribadi saat adik-adiknya pun sudah bekerja. Namun jumlah pendapatannya tak pernah cukup untuk pergi travelling, karena dia harus menabung untuk persiapan menikah. Setelah menikah pun dia masih harus menabung untuk kebutuhan rumah tangganya. Beberapa kali adik Mama menawarkan kesempatan padanya untuk berwisata ke luar negeri, namun dia tolak karena memikirkanku dan Kakak yang saat itu masih kecil dan pasti akan menangis jika ditinggalkan. Alhasil sampai detik ini, hingga di usianya yang menginjak enam puluh lima tahun, Mama tak pernah sekalipun berangkat ke luar negeri.
Kini aku sudah bekerja. Meski gajiku tidak besar, aku selalu menyisihkan sebagian uangku untuk ditabung. Setelah kami sepakat membawa Mama travelling, Aku dan Kakak mulai membuat sebuah tabungan bersama. Setiap gajian di akhir bulan, kami akan menyisihkan sebagian uang kami di tabungan itu. Tanpa terasa jumlahnya yang tak seberapa lama-lama menjadi bukit. Nominalnya yang mencapai delapan digit membuatku optimis dana itu akan segera cukup untuk membayar biaya perjalanan liburan Mama. Aku sampai antusias mencari beberapa travel tour dan beragam destinasi perjalanan. Menyenangkan rasanya, seperti mendapat hobi baru di tengah kesibukan yang menyekik.
Namun ternyata mimpi memang disebut mimpi karena sulit tercapai. Uang tabungan kami berakhir digunakan untuk merenovasi atap rumah yang hampir jebol. Biayanya mencapai puluhan juta Rupiah, sehingga pada akhirnya isi tabungan itu nyaris ludes tanpa sisa.
Segalanya kembali ke nol. Harapanku untuk pergi ke luar negeri bersama Mama pupus begitu saja. Butuh waktu setahun lebih untuk mengumpulkan uang sebesar itu! Tapi Mama menghiburku dengan mengatakan bahwa lebih baik tidak pergi jalan-jalan daripada harus tidur di kamar yang bocor. Akhirnya kami putuskan untuk mengikhlaskan uang tersebut dan kembali menabung dari awal. Untuk sementara rencana liburan itu terpaksa dilupakan terlebih dahulu.
Tak terasa setahun pun berlalu, dan jumlah tabungan yang kali ini kami kumpulkan sudah hampir sama seperti nominal sebelumnya. Namun lagi-lagi takdir tak membiarkan kami bernafas lega. Mama didiagnosa memiliki katarak pada matanya, sehingga harus sesegera mungkin dioperasi. Tabungan itu pun lagi-lagi terpaksa dipakai, dan untuk kedua kalinya rencana kami gagal. Ternyata benar manusia boleh berencana, namun takdir bisa saja berkata lain. Untungnya kegagalan kedua itu tidak membuatku patah semangat. Aku bersumpah bahwa tahun depan kami sekeluarga benar-benar akan pergi ke luar negeri. Sumpah itu kunyatakan di depan Kakak dan Mama untuk menunjukkan bahwa tekadku sudah sekeras baja.
“Kita tahun depan harus pergi ke luar negeri apapun yang terjadi!” seruku tanpa ragu. “Nggak boleh diundur lagi ya!”
“Iya, Ki. Semoga tahun depan tidak ada halangan ya. Kita menabung sama-sama," ujar Mama.
“Mulai sekarang nggak ada lagi tuh jajan online,” timpal Kakak. “Kita kebanyakan jajan nih. Makanya gendut.”
Mendengar ucapan itu, aku langsung melirik perut buncitku. Memang benar, sudah setahun belakangan perutku makin saja membuncit. Ini gara-gara nafsu makanku belakangan meningkat tinggi. Mungkin memang saatnya untuk mengurangi porsi makan. Selain demi berhemat, aku juga tidak ingin pergi ke luar negeri dengan tubuh jumbo! Bagaimana jika nanti tidak ada baju yang muat untukku? Bisa gawat!
“Asal tahu aja, di luar negeri apalagi di Asia Timur atau Eropa, udaranya dingin walaupun udah musim semi. Makanya harus beli pakaian tebal kayak mantel. Terus kita pasti akan banyak jalan kaki di sana. Biar staminamu kuat, jangan terlalu gendut. Olahraga sana,” ucap Kakak menyampaikan pendapatnya.
“Tapi kan kita janji makan all you can eat bulan ini. Gimana dong?” ujarku membela diri.
Kakak memicingkan matanya dan ikut berpikir. “Iya juga ya. Yaudah lah, biarin. Orang cuma sekali. Anggap aja cheating day.”
Aku yang sudah membayangkan kenikmatan steak yang meleleh di mulutku pun mengangguk sependapat. Baiklah, makan enak dan mahal tidak terjadi setiap hari. Lagipula apa salahnya makan steak hari ini, lalu kembali diet keesokan harinya?