I Love You, Mama

delionquin
Chapter #23

Chapter 22: Kehilangan

Mumet, mumet, mumet!

Kepalaku puyeng luar biasa melihat layar yang menampilkan beragam gambar, foto, dan tulisan yang berantakan. Minggu itu pekerjaanku menggunung. Akhir pekan yang biasa kumanfaatkan untuk bersantai kini kuhabiskan untuk mengerjakan desain. Tenggat waktu yang diberikan adalah hari Senin, namun di hari Sabtu pagi draft sketsa-nya saja baru disetujui. Bagaimana bisa aku menyelesaikan desain itu jika tidak mengebutnya di akhir pekan?

Sejak pagi aku terus berkutat di depan laptop. Mencari referensi, mengutak-atik desain, dan merevisinya terus-menerus. Aku yang biasanya riang dan ceria pada hari Sabtu kini mendongkol hebat. Tak terdengar suara musik yang biasa mengalun dari dalam kamar di setiap akhir pekan. Kini yang terdengar hanya erangan kesal serta caci maki penuh kejengkelan.

Perlahan pintu kamarku tersingkap, dan muncullah Mama yang mengintip dari balik pintu. Dia memerhatikanku yang sedang fokus bekerja, lalu memanggil dengan hati-hati, “Kiara, kamu nggak sarapan dulu? Ini sudah jam sepuluh, loh. Nanti maag kambuh lagi.”

“Iya sebentar, aku mau selesaikan ini dulu,” balasku sambil tetap sibuk menggerakkan mouse laptop.

“Mama juga bikin jus alpukat. Jangan lupa diminum ya.”

“Iya, Ma! Tolong jangan ganggu aku dulu. Aku mau fokus kerja nih,” ucapku gerah. Mama akhirnya tidak berkata apapun lagi dan menutup pintu kamar, membiarkanku sibuk dengan duniaku sendiri.

Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya aku mematikan laptop dan bangkit berdiri. Kurenggangkan tubuhku yang terasa kaku setelah duduk terlalu lama, lalu kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Pantas saja perutku bergemuruh sejak tadi, rupanya aku telah melewatkan jam sarapan dan makan siang. Kedua kakiku cepat-cepat melangkah keluar kamar menuju meja makan. Kebetulan Mama sedang duduk di sana sambil memainkan ponsel genggamnya.

“Ma, laper,” ujarku sambil membuka tudung saji meja makan. Ada beberapa lauk pauk seperti ayam balado, tumis tempe, dan tumis buncis yang tersaji. Harumnya semakin saja meningkatkan gairah makan dan rasa laparku.

“Makan gih. Ini sudah jam berapa? Kalau maag-mu kambuh, Mama nggak tanggung jawab loh ya.”

Aku buru-buru menuju dapur untuk mengambil piring dan nasi, lalu duduk kembali di meja makan. Semua menu yang Mama masak hari itu adalah makanan favoritku. Aku makan dengan lahap dan gembira, seakan makanan yang masuk ke dalam mulutku saat itu adalah makanan paling lezat di dunia. Melihatku sungguh bersemangat, Mama terdorong untuk bertanya, “Kamu kelaparan, ya? Pekerjaanmu sudah selesai?”

“Udah sebagian. Sisanya kulanjutin di kantor aja hari Senin,” balasku dengan mulut terisi penuh.

“Kalau gitu mau nggak jalan-jalan? Kakak rewel tuh karena akhir minggu ini hanya di rumah saja. Mama sekalian mau belanja bulanan ke supermarket. Mau ikut?”

Biasanya aku anak yang sangat suka bersarang di rumah. Namun hari itu, memikirkan harus tinggal di rumah saja seharian setelah bekerja keras tanpa adanya hiburan terasa menjemukan. Akhirnya aku menyetujui ajakan itu untuk ikut pergi.

Kami tiba di mal pukul tiga sore. Pada jam segitu, mal sudah padat pengunjung. Kami berencana pergi ke supermarket untuk berbelanja, lalu setelahnya berkeliling mencari baju. Yang paling bersemangat saat itu adalah Kakak. Dia sangat doyan belanja dan mencuci mata dengan melihat barang-barang lucu dan menarik, berbeda denganku. Maka setelah tiba di sana, Kakak berpencar dari kami untuk pergi mengunjungi toko buku favoritnya, sementara kami bertolak menuju supermarket.

Ternyata hari itu terselenggara pameran makanan yang di lobi utama mal. Semua pengunjung berkumpul seperti semut yang mengerubungi kue. Untuk sampai di supermarket, kami harus melewati area besar lobi itu dan mengarungi lautan manusia. Awalnya aku menggandeng tangan Mama untuk menerobos kerumunan. Namun tangan Mama sempat terlepas dari tanganku, dan aku begitu berbalik, sudah tidak tampak batang hidungnya. Lantas aku beranjak panik dan mengedar pandangan ke sekeliling. Sayangnya sejauh apapun mataku mencari, Mama tidak kunjung kutemukan. Aku berusaha menghubunginya via telepon, tapi tak kunjung diangkat. Kejadian itu tiba-tiba saja membuatku merasa seperti mengalami dejavu. Mengingatkanku pula akan sebuah kejadian masa lalu yang serupa. Bedanya dulu posisi kami terbalik. Aku yang menghilang, dan Mama yang mencari keberadaanku. Saat itu Mama juga mencariku dengan panik seperti mempertaruhkan hidupnya.

Apa begini rasanya takut kehilangan?

Ternyata ini yang Mama rasakan ketika dulu aku menghilang dari pandangannya. Panik, gusar…

Lihat selengkapnya