“Kia, makan buahnya!”
“Kia, rapikan lemarimu! Berantakan sekali!”
“Kia, jangan lupa minum vitamin!”
“Kiara!”
Teguran demi teguran itu lazim mengisi pendengaranku. Sejak aku masih merangkak hingga mengalami yang namanya ‘encok’, Mama selalu menegurku akan perkara kecil maupun besar. Ini karena standar Mama sangat berbeda jauh dariku, mulai dari kebersihan, cara menjaga kesehatan, dan hal-hal lainnya. Kalau menurutku bersih dan rapi, belum tentu sama menurut Mama. Kalau menurutku sudah benar, bisa jadi menurut Mama masih salah. Perbedaan standar itu alhasil sering mengakibatkan kami terlibat perdebatan dari waktu ke waktu.
Terkadang terasa jenuh dan muak menampung omelan Mama. Aku sampai pernah berkata padanya, “Ya udah sih Ma! Standar Mama tuh ketinggian! Kalau menurut Mama kamar Kia masih kurang rapi, ya nggak usah dilihat!”
Lalu Mama dengan pose andalannya setiap memarahiku, tangan berkacak pinggang, menjawab, “Kamu ini ya, Mama ajarkan rapi dan bersih kan demi kebaikanmu! Mau jadi apa rumahmu suatu saat nanti kalau jorok seperti ini?”
Jika ucapan maut itu keluar, aku tak bisa lagi membalas. Sejujurnya aku ingin menjawab, “Nanti aku sewa asisten rumah tangga aja!”, tapi kemudian aku teringat betapa tidak masuk akalnya kondisi ekonomi di zaman sekarang. Lantas ucapan itu batal kulontarkan, dan aku memilih jawaban yang mengada-ada, namun tetap realistis, “Nanti kalau punya rumah sendiri juga bakal rapi!”
Perdebatan itu dimenangkan oleh Mama dengan balasan andalannya yang membuatku ‘kicep’. “Ah, orang kamu waktu kos sendiri aja berantakan banget! Celana dalam yang baru dicuci saja ada yang ditaruh di atas meja belajar, bukannya dilipat!”
Tidak hanya itu, Mama juga kerap mengomeliku terkait banyak hal, contohnya soal posisi barang. Mangkok harus dimasukkan ke dalam laci bawah, sementara piring diletakkan di laci atas dan diurutkan mulai dari yang paling besar hingga kecil. Pakaian harus dilipat rapi dan dipisah berdasarkan jenis dan kebutuhan. Belum lagi setelah pulang ke rumah, semuanya harus segera keramas dan mandi atau tidak diizinkan duduk di sofa, dan masih banyak lagi peraturan-peraturan yang terasa merepotkan. Sebagai orang yang tidak terlalu resik, aku merasa Mama berlebihan. Karena itu aku sering terlibat adu mulut dengannya.
“Udah ah, Ma! Biarin aja! Nanti aku beresin lemariku sendiri! Kalau Mama ingatin setiap menit kayak alarm, Kia capek jadinya!” protesku ketika Mama kembali ribut perkara lemari pakaianku yang amburadul. Akhir pekan memang menjadi ajang bagi Mama untuk membersihkan seisi rumah. Semua kamar dan lemari akan dia periksa, dan jika ada yang tampak tidak sesuai harapannya, maka dia akan menginterogasi kami dan mendumel sepanjang hari.
“Bajumu itu loh Kia, nanti cepat lecek! Makanya kamu lipat dan masukkan yang rapi! Kalau kamu butuh pakai baju itu tapi lecek, kan kamu juga yang repot nantinya!”
“Duh Ma!” Aku membanting ponsel genggam yang sedang kumainkan ke atas ranjang saking muaknya diomeli. “Aku tuh lama-lama pusing kalau Mama ngoceh melulu setiap detik! Ini kan kamar Kia, Mama nggak usah ikut campur. Lagian Kia juga nggak berantakan banget sampai kamar jadi kapal pecah. Nanti Kia bersihin sendiri kok, udah ah jangan ganggu lagi!”
Setelah mengeluarkan pernyataan itu, Mama akhirnya tidak lagi mengusikku. Mungkin karena capek menasehatiku yang keras kepala. Hidupku langsung terasa damai dan tenang setelah Mama tidak lagi mengomel. Keadaan kamarku memang tidak bisa dibilang rapi, tapi tidak ada sampah dan debu yang menumpuk. Semua barang terletak di tempatnya, dan aku pun rutin menyemprotkan pewangi ruangan ke sepenjuru sudut dan celah kamar. Kalau mengingat kamar teman-temanku saat mereka kos dulu, mungkin Mama bisa pingsan melihat penampakannya. Handuk basah tergeletak di atas bantal, botol plastik di setiap sudut kamar, sampah yang berserakan, dan hal-hal mengerikan lainnya. Aku pun menarik kesimpulan bahwa bukan aku yang jorok, tapi Mama saja yang terlalu resik!
“Nyokap gue resik banget, sampai gue capek,” keluhku pada Sandra, teman kantorku. Saat itu sedang jam istirahat, dan kami biasanya makan bekal bersama di pantry kantor. Kebetulan Sandra yang selalu membeli makanan dari luar hari itu membawa bekal. Tidak ada siapapun kecuali kami di sana.
“Emangnya resik gimana?” tanya Sandra sambil menikmati ayam gorengnya.