Waktu kecil, aku suka sekali datang ke pesta ulang tahun. Anak-anak sepantaranku sering merayakan pesta ulang tahun mereka di restoran cepat saji. Ada badut, balon warna-warni, hiasan, topi, serta makanan lezat yang menanti. Semua tamu undangan menyanyikan happy birthday dan menyampaikan ucapan selamat kepada yang berulang tahun sambil joget bersama. Seru sekali. Sayangnya aku tidak pernah mengalami ulang tahunku sendiri dirayakan seperti itu.
Meski ulang tahunku tidak dirayakan secara besar-besaran, Mama tetap rutin membeli kue tart untukku setiap tahunnya. Dia memakaikanku gaun cantik, menghias rambutku dengan bando dan jepit rambut, serta menyiapkan makanan lezat seperti mie goreng atau sup ayam. Mama juga mengundang tante dan om beserta anak-anak mereka untuk ikut merayakan. Aku suka sekali ketika semua orang mengelilingku dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Lalu kami akan makan bersama dan aku mendapatkan banyak kado. Tak aneh jika ulang tahun menjadi salah satu acara yang paling kunantikan setiap tahunnya.
Namun saat dewasa, aku tidak terlalu suka berulang tahun. Usiaku terus bertambah, menandakan diriku semakin tua. Guru agamaku pernah bilang bahwa perayaan ulang tahun sebenarnya diadakan untuk menghibur seseorang agar tidak merasa sedih karena usianya bertambah tua. Kupikir-pikir benar juga. Aku tidak ingin menua, tapi aku lebih tidak ingin mamaku menua.
Gejala penuaan kini sangat kentara di fisik Mama. Keriputnya semakin menyebar. Tenaganya semakin melemah. Terkadang dia keliru memanggil nama orang lain dan lupa mematikan kompor. Mama juga semakin senang bercerita padaku tentang suatu hal sampai mengulangnya berulang kali. Bermacam-macam gejala pikun tampak dari gelagatnya.
Namun berapa rata-rata usia seorang manusia dapat hidup di zaman sekarang? Delapan puluh tahun? Atau Sembilan puluh tahun? Aku ingin mamaku hidup sangat lama, bahkan sampai aku memiliki cucupun, aku ingin dia tetap bersamaku. Semua orang yang menyayangi orang tua mereka pasti juga berpikir demikian. Takut kehilangan tempat bersandar, tempat berbagi cerita, dan tempat untuk pulang.
Lalu kenapa tidak menikah saja? Memangnya ada jaminan orang yang kunikahi akan lebih menyayangiku daripada Mama?
Mungkin itu alasanku belum mau menikah. Mama memberiku segala sesuatu yang kubutuhkan. Kasih sayang, perhatian, juga tempat untuk beristirahat. Orang lain bisa jadi tak mengerti betapa bergantungnya diriku pada Mama. Oke, biar kunyatakan dengan gamblang: Kiara sangat menyayangi Mama dan tidak bisa hidup tanpanya! Sebut saja aku manja dan tidak mandiri, terserah, karena bagaimanapun juga Mama adalah sosok paling berharga yang mampu menyokongku untuk tetap hidup dengan penuh semangat dan harapan.
Baiklah, kembali ke topik ulang tahun. Sebentar lagi adalah hari ulang tahun Mama. Aku dan Kakak biasanya berdiskusi untuk membelikannya hadiah. Barang yang pernah kami berikan sebelumnya adalah tas dan pakaian. Namun tahun ini aku tidak tahu hendak memberikan apa, karena koleksi tas Mama sudah memadati isi lemari kamarnya hingga sulit untuk ditutup rapat.
“Gimana kalau perhiasan? Mungkin Mama suka,” usul Kakak ketika kami sedang berdiskusi di sofa ruang tamu. Kebetulan siang itu Mama sedang pergi keluar bersama teman-temannya sehingga kami bebas dan santai membicarakan topik hadiah itu.
“Perhiasan apa? Kalau emas mahal, budget kita kan nggak sampai segitu,” tolakku.
“Kalau gitu…baju? Mama kan juga suka beli baju.”
Aku menggeleng. “Nggak deh, jangan. Mama juga udah punya banyak baju.”
Kakak berdecak kesal. “Terus apa dong? Kamu ada ide nggak?”
Aku mulai merenung dan berpikir keras. Sesungguhnya aku juga biingung harus membeli hadiah apa, karena Mama jarang mengungkapkan keinginannya di depan kami. Hampir saja Kakak mengajakku untuk membelikan Mama parfum sebagai hadiah, namun tidak jadi karena mendadak Mama pulang ke rumah membawa sekotak parfum mahal yang merupakan pemberian dari teman bosnya. Karena kebingungan, sampai detik ini kami belum kunjung menentukan pilihan. Aku pun masih berusaha melihat-lihat aplikasi belanja online untuk mencari ide, ketika tiba-tiba sebuah foto barang melintas di timeline social media milikku.
“Eh, Kak. Ini lucu deh,” aku segera memanggil Kakak untuk mendekat dan melihat layar ponselku.
Kakak menurut dan mengintip layar ponsel itu. Kemudian kedua matanya berkelip seolah akhirnya mendapat pencerahan. “Eh, lucu tuh. Apa beliin itu aja?”
“Tapi Mama bakal suka nggak, ya?” tanyaku ragu.