Esoknya aku pergi Ke Blitar. Wajah Papa selalu terbayang. Seolah sedang menatap dan memanggil-manggilku untuk pulang. Sumpah! aku merasa jadi anak durhaka karena sudah lama tidak menemuinya. Padahal kabar terakhir yang aku terima, Papa sudah dua kali masuk rumah sakit.
Aku pergi sendiri tanpa bilang kepada teman-teman yang lain. Lagi pula mungkin saat ini teman-teman sudah jijik kepadaku karena mau diajak berdua oleh si Samuel berengsek itu. Andai aku tahu sejak awal bahwa si Samuel seorang predator, tentu aku tak sudi meskipun sekadar kenal.
Kini semua sudah terlambat. Aku tidak hanya dikenal sebagai pemakai narkoba, tetapi juga sebagai gay.
Astagfirullah ... desahku sambil terus menyetir.
Butuh lima sampai enam jam perjalanan dari Surabaya ke Blitar. Aku lelah, tapi mau bagaimana lagi. Rasa rindu kepada Papa menjadi energi gaib yang membuat tubuhku kuat. Terbayang wajah bahagia Papa saat bertemu denganku. Papa memang senang bercanda jika bertemu aku. Ah, tunggu aku, Pa.
Sekitar jam satu aku sudah sampai di Blitar. Namun, masih butuh satu jam lagi untuk bisa sampai ke rumahku yang berada di pelosok. Banyak penjual buah berjajar di sepanjang jalan. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak untuk istirahat. Aku membeli makan karena lapar sekaligus membeli apel untuk Papa.
Papa pasti senang bertemu denganku. Apalagi melihat anaknya baik-baik saja. Aku memang tak pernah menampakkan kesedihan di depan semua orang, terutama Papa. Jika sedang sedih, aku memilih diam menyendiri untuk menghisap ganja, meminum wiski, atau menenggak beberapa butir obat terlarang. Setelah mabuk parah, biasanya aku tertidur.