Prosesi pengurusan jenazah berjalan lancar. Hampir semua tetangga ikut membantu tanpa diminta. Ada yang bertugas menggali kubur, memandikan, dan membuat papan lahat serta batu nisan. Semua mereka lakukan dengan sukarela.
Saat jenazah Papa mulai ditandu diiringi kalimat tahlil menuju permakaman umum yang terletak di ujung desa, hatiku sangat perih. Langit mendung, angin berembus pelan menurunkan gerimis. Beberapa kali aku mendapatkan ucapan dukacita dari tetangga dan kolega Papa. Semua hanya aku tanggapi dengan anggukan. Tak ada seorang pun yang mampu menghiburku.
“Mama? Di mana Mama?” tanyaku kepada diri sendiri.
Aku mengedarkan pandangan. Namun, sosok yang aku cari memang tak ada. Aku menarik napas. Hatiku semakin perih.
Tiba di permakaman, gerimis semakin deras. Hal itu tak menyurutkan aku dan para pelayat yang bermaksud menguburkan Papa. Semua tetap pada posisinya. Tak heran, jika kematian Papa sangat disesali oleh para tetangga, karena semasa hidup, apalagi dulu ketika Papa masih sukses, banyak orang yang telah merasakan kebaikan Papa. Tak heran juga jika para tetangga di desa lebih menghargaiku ketimbang teman-teman di Surabaya.
Pemakaman selesai. Aneh, gerimis pun berhenti,tetapi air mataku tak jua tuntas. Ketika para pelayat satu per satu mulai kembali ke rumah masing-masing, aku masih saja terpaku, duduk di samping pusara Papa. Angin yang berembus kencang dan sisa-sisa gerimis yang dibawanya tak berarti apa-apa jika dibanding dengan gerimis di hatiku. Baru kali ini aku merasakan kepedihan yang begitu dalam. Namun, aku sadar, tidak ada gunanya aku terus bersedih. Papa sudah tiada, Papa sudah tenang. Aku tak ingin kesedihanku mengganggu ketenteraman Papa di alam sana.
“Pa ... tenanglah di sana. Aku janji akan sering datang kemari,” lirihku di antara desau angin.
Aku berdiri, memutar tubuh kemudian melangkah pelan. Namun, ketika sampai di pintu masuk area permakaman, aku kembali memutar tubuh. Di sana, dari arah pintu masuk permakaman sebelah utara, aku melihat seorang wanita berbaju hitam sedang berjalan di antara batu nisan. Aku segera membuang muka, lalu kembali melangkah lebih cepat daripada sebelumnya.
Sampai di rumah aku duduk di ruang tengah. Bi Ina, asisten keluarga yang sudah aku anggap keluarga sendiri sedang di dapur. Sunyi menyergap. Seolah tak ada lagi kehidupan di rumah ini. Para tetangga pun sudah pulang ke rumah masing-masing. Entah sengaja memberi kesempatan kepadaku untuk sendiri, entah memang mereka punya kegiatan lain? Ah, lagi pula saat ini aku sedang tak ingin bicara dengan siapa pun kecuali dengan diriku sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku melirik sebentar. Malas sebenarnya. Namun, aku takut ada sesuatu yang penting mengenai meninggalnya Papa.
Bi Ina keluar dari dapur. “Biar aku saja, Bi!” seruku.
Bi Ina menghentikan langkahnya, kemudian kembali ke dapur. Aku segera mendekati pintu dan membukanya.
“Mama ....” Tiba-tiba ada yang menggelegak dalam dada.
"Ngapain Mama kemari? Puas sekarang? Ini kan yang Mama inginkan?"
Ada genangan bening di sudut mata Mama. "Maafkan Mama, Ri.” Mama berusaha memelukku, tetapi aku segera menghindar.
"Maaf? Segampang itu Mama minta maaf setelah apa yang sudah Mama lakukan? Mama jahat!"