Surabaya sedang panas-panasnya. Berdiam diri di kamar ber-AC adalah pilihan yang tepat sepulang dari kantor yang hari ini suasananya sangat memuakkan. Teman-teman sekantor memandang hina diriku. Bahkan ada yang nyeletuk, “Bergaul sama si Bos ya pasti gitulah. Akan tetapi, kok nggak diajak ke luar negeri, ya?”
Aku tahu bos yang mereka maksud. Pasti Samuel karena dia pemimpin perusahaan. Dan, aku yakin betul kalimat itu ditujukan kepadaku. Malas sekali menanggapinya. Bisa jadi masalah besar kalau mereka dilayani. Jadi, biarlah! Apa pun yang mereka ingin katakan tentangku katakan saja. Toh, kebenaran bukan ada pada mulut orang-orang hasud. Sebenarnya bisa saja aku memecat mereka karena sudah menebarkan isu yang tidak benar. Aku seorang general manager di perusahaan Samuel, jabatanku lebih tinggi daripada mereka sehingga punya wewenang untuk itu.
Aku menarik napas dalam. Merebahkan tubuh di kasur. Angin pada AC aku perbesar. Aku memejamkan mata, berharap Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk tidur meski hanya beberapa jam. Namun, yang terjadi justru kepalaku terasa sakit.
Aku bangkit. Memijit-mijit kening. Kemudian mengembuskan napas kasar. Aku teringat sesuatu di laci. Aku tersenyum kemudian bangkit dan membukanya.
“Nah, ini dia yang bisa membuatku tenang!” Aku tertawa sendiri. Selinting ganja tergeletak di dalam laci. Aku mengambilnya. Aku menutup jendela dan mengunci pintu, kemudian membakar selinting ganja kering itu. Saat asap ganja mulai masuk ke otak, melayanglah jiwaku. Tenang dan bahagia.
Aku duduk di sudut kamar karena pernah sekali waktu mengisap ganja di tempat tidur, alhasil sepraiku bolong-bolong. Tidak ada yang boleh mengganggu kebahagiaanku. Aku bebas! Aku merdeka melakukan apa pun.
Selinting ganja aku habiskan hanya dalam waktu sepuluh menit. Tubuhku semakin terasa ringan, jiwa melayang. Aku terpejam, bernapas perlahan, kemudian terlelap. Aku bermimpi indah tentang sebuah keluarga bahagia dan seorang perempuan yang sangat mencintaiku.
Menjelang malam aku terbangun. Kepala terasa pening. Aku memijit-mijitnya. Memang, aku akui bahwa mabuk itu enaknya hanya ketika fly saja, tetapi setelahnya badan, terutama kepala terasa sakit dan untuk menyembuhkannya bukan perkara sejam dua jam. Bahkan, pernah seharian aku merasa kepala sangat sakit. Karena memang sudah biasa, aku pun terlihat biasa. Jika sudah tak tahan dengan rasa sakitnya, aku tenggak setengah gelas arak dan beberapa butir obat terlarang atau mengisap beberapa isapan ganja. Lalu makan, kemudian tidur, dan akhirnya sembuh.
Aku bangkit dan duduk di meja kerja. Segelas air putih segera aku tenggak. Kerongkongan kembali segar. Perut juga mulai terasa lapar. Aku membuka laci, mencari barangkali masih ada sedikit ganja untuk aku isap sekadar menghilangkan sakit kepala.
“Sial, habis!” gerutuku.
Mau nggak mau aku harus mencari si bandar sialan itu. Daripada jika ingin tapi barangnya tidak ada, sama saja dengan menyiksa diri sendiri. Ah! Aku membanting bungkus rokok kosong ke lantai, lalu menyambar kunci mobil di atas meja dan segera keluar.
Mobil melaju tidak terlalu cepat, tapi juga tidak bisa dikatakan pelan. Namun, jangan cemas. Aku sudah biasa mengendarai mobil dalam kondisi seperti ini. Lagi pula, jika aku harus mati kecelakaan, matilah saja. Aku tak peduli.
Mobil melaju semakin kencang. Pikiranku melayang. Wajah Samuel dan wajah Mama terbayang. Ada sesuatu yang menyala dalam dada hingga tanpa sadar aku menginjak pedal gas semakin dalam. Ciiit .... Aku terlempar ke depan, dadaku terbentur setir, napasku sesak, dan jantung berdegup lebih cepat.