I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #15

Suami Gagal

Marsya terduduk di tepi ranjang. Ia menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari.

"Sya, maafkan aku..." Entah sudah berapa kali kalimat itu terlontar dari bibirku. Hanya kalimat itu yang terucap saat aku tidak bisa memenuhi hasratnya.

Alih-alih menjawab, Marsya hanya menoleh sekilas sembari tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Aku tahu itu. Ada gurat kekecewaan yang terpancar jelas di wajahnya. Tidak dapat dimungkiri, aku memang suami yang gagal.

Marsya hendak bangkit, tetapi aku mencegahnya, kemudian memeluknya dari belakang.

Sebelum menikah, aku tidak tahu bahwa aku menderita lemah syahwat. Bukan tidak pernah pula aku konsultasi kepada dokter untuk menyembuhkan penyakit ini. 

Segala saran dokter sudah aku lakukan, tetapi semua seolah seperti air di daun talas. Penyakitku bukannya sembuh, sebaliknya semakin parah.

Ah, bagaimana ini ya, Tuhan? Apakah gara-gara hingga kini aku belum bisa berhenti mengonsumsi narkoba? 

Pernah suatu hari Marsya mengingatkan aku.

“Yang, coba deh berhenti mengonsumsi narkoba sebulan saja. Lalu didorong dengan makanan dan minuman bergizi. Aku yakin kamu akan kembali normal,” katanya sambil menatapku dalam.

Aku sadar, bisa jadi penyakitku ini memang karena narkoba yang selama ini aku konsumsi. Atau? 

“Apa kamu masih benci sama mamamu?” tanya Marsya.

“Iya, aku memang benci wanita seperti Mama. Tapi kan kamu bukan Mama, Marsya. Aku mencintaimu melebihi cintaku kepada diri sendiri.” 

Marsya menarik napas dalam. “Aku ingin punya anak, Sandi. Aku ingin sempurna menjadi wanita seutuhnya.”

“Aku juga ingin, Sayang.”

“Iya makanya cobalah berhenti, Sayang. Aku yakin kamu pasti bisa. Sebelum semuanya terlambat.”

“Tapi, Sya .…”

“Apa kamu tidak takut kalau sewaktu-waktu ditangkap polisi karena penyalahgunaan narkoba?”

Aku terdiam mendengar ucapan Marsya. Dia benar. Bisa saja saat ini aku sedang menjadi target polisi. Lalu, jika aku tertangkap, bagaimana dengan Marsya dan nasib pernikahan kami? Aku bahkan tidak pernah berpikir sejauh itu.

Bukan hal mudah untuk terlepas dari narkoba, terutama ganja dan obat-obatan. Sebab, sehari saja aku tak mengonsumsinya, aku seperti kehilangan diriku sendiri. Ada yang kurang dalam hidup ini. Aku sakau. Tubuhku menggigil dan pikiranku kacau. 

Aku menarik napas dalam. “Baiklah, Sayang. Aku akan mencobanya. Aku akan berusaha berhenti mengonsumsi narkoba.” Paling tidak aku bisa membuat hati Marsya tenteram meskipun sesaat.

Marsya tersenyum mendengar jawabanku.


***


Hari berganti waktu pun berlalu. Hampir tiga bulan sejak obrolan itu. Di depan Marsya aku selalu berusaha mengendalikan diri. Aku tak pernah menampakkan kalau sedang on atau giting. Namun, di belakang Marsya aku tetap mengonsumsi narkoba karena selain ketergantunganku sudah sangat berat, Marsya juga hampir tiap malam mengajakku bercinta sehingga aku semakin bosan melihat tubuhnya dan tentu saja semakin tidak bergairah sama sekali. Aku semakin depresi dan Marsya semakin terlihat uring-uringan.

Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan kini? Apakah aku harus tetap mempertahankan pernikahan ini? Jika Marsya terus bersamaku, dia tidak akan pernah mengecap bahagia. Namun, jika aku berpisah dengannya, apa aku sanggup? 

Marsya telah terlelap setelah tadi bercinta dengan dirinya sendiri. Lagi-lagi aku hanya bisa membangkitkan gairahnya, namun tak mampu menyelesaikan. Aku benar-benar merasa jadi pecundang.  

Lihat selengkapnya