Kadang aku merutuki diri sendiri. Ada apa denganku? Tak jarang, aku bertanya kepada Tuhan. Mengapa penyakit ini menggerogoti jiwaku? Aku sakit? Ya. Namun, bukan tubuhku melainkan hati dan jiwaku. Aku tidak bisa membedakan mana cinta, mana nafsu, dan mana hasrat. Mata hatiku buta. Sekarang, setelah aku melepas Marsya dari sisiku, aku merasa kehilangan. Ada sesuatu yang hilang dari diriku.
Apakah ini cinta yang sesungguhnya yang selama ini aku pertanyakan? Cinta putih yang aku harapkan? Cinta yang berangkat dari rasa perhatian, kasih sayang, dan ketulusan? Mungkin saja.
Harus kuakui, berkat Marsya, aku membuka hati untuk perempuan. Berkat Marsya, rasa itu timbul dan bersemayam dalam relung hatiku. Aku merasa nyaman jika berada di dekatnya. Sangat nyaman. Mungkin itu yang dinamakan cinta. Bagiku, cinta adalah kenyamanan.
Mobil melaju meninggalkan rumah kontrakan. Tanpa sadar, aku telah sampai di depan sebuah rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku langsung mengetuk pintu.
Di saat batinku berkecamuk, tiba-tiba aku teringat Marsya. Aku teringat wajah cantik dengan senyum manis serta lesung pipi yang dimilikinya.
"Papa ...." Aku mendesah teringat almarhum Papa. Aku merindukannya. Aku ingin Papa ada di sisiku karena hanya dia yang bisa mengerti dan mampu menenangkanku. Sayangnya, Papa sudah tidak ada.
Tiba-tiba wajah Mama terlintas di pikiranku.
Kenapa tiba-tiba aku teringat Mama? Apakah semua yang terjadi kepadaku adalah hukuman dari Tuhan karena sudah durhaka kepadanya? Selama ini aku selalu menyalahkannya dalam segala hal. Keluarga hancur, Papa jatuh sakit sampai meninggal dunia. Aku menumpahkan semua kesalahan kepada Mama.
Pikiranku melayang memikirkan Mama. Aku harus pulang. Aku harus minta maaf kepadanya. Entah mengapa, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Dalam perjalanan ke rumah, aku terus memikirkan orang yang selama ini aku benci. Ada apa ini? Jangan-jangan terjadi sesuatu kepada Mama? Tidak, jangan sampai.
Selama perjalanan pulang, pikiranku tidak tenang. Aku selalu memikirkan keadaan Mama. Aku benar- benar cemas memikirkannya.
Aku mempercepat laju mobil. Memasuki kawasan tempat tinggalku, dari arah berlawanan, aku melihat beberapa orang menggotong keranda mayat diikuti orang-orang di belakangnya. Aku hanya bisa melihat dari dalam mobil. Siapa yang meninggal? Aku merasa ada firasat buruk, tetapi aku berusaha menepisnya.
Rumah tampak sepi. Tidak ada aktivitas apa pun ketika aku sampai rumah. Untung saja tidak terjadi apa-apa. Kulihat Bi Ina sibuk menyapu halaman. Suara klakson dari mobilku menghentikan aktivitasnya. Dia menyambutku dengan pelukan hangat. Meski posisinya sebagai pembantu di rumah, bagiku Bi Ina seperti ibu kandung.
Bi Ina sempat bertanya panjang lebar mengenai keadaanku. Dia mengkhawatirkanku. Ah, dunia seolah terbalik. Bi Ina yang bukan orang tuaku saja sangat menyayangiku, sedangkan Mama, orang tuaku sendiri tidak peduli dengan keadaan anaknya.
“Mama mana, Bi?” tanyaku setelahnya.
Bi Ina tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia mengajakku duduk di kursi rotan di bawah pohon kersen depan rumah.
“Sejak meninggalnya Tuan, Nyonya sering ke Singapura,” jawab Bi Ina dengan suara bergetar.
“Singapura? Ngapain, Bi?”
Bi Ina sesaat terdiam. Dia kemudian mengangkat bahu, tetapi ekspresinya seolah menyimpulkan sesuatu.
“Aden sudah makan belum?”
Aku hanya menggeleng pelan. Lupa kapan terakhir kali aku makan. Sejak masalahku dengan Marsya mencuat, rasa laparku jadi hilang.
“Ya sudah, biar Bibi yang siapkan makannya.” Bi Ina bangkit dari duduknya lalu melangkahkan kaki menuju rumah.