Dear Sandi,
Saat membaca surat ini, mungkin kita tidak akan bertemu lagi. Sayang, bukankah sejak awal aku sudah tahu bahwa kamu pengguna narkoba dan kamu juga lemah tak bisa memuaskan hasrat berahiku? Aku marah, wajar. Aku kecewa itu pasti. Tapi, apakah pernah kau melihat sikapku berubah? Sungguh, aku mengerti dan menerima kamu apa adanya. Kemarahanku hanya agar kamu setidaknya mau berusaha lagi untuk memperbaiki diri.
Aku yakin kamu pasti bisa berubah. Apalagi saat kamu memutuskan untuk menikah denganku, aku semakin yakin terhadapmu. Tapi, kenapa dalam waktu singkat kamu meninggalkanku?
Sandi, hatiku hancur saat kamu menceraikan aku. Aku hampir bunuh diri lagi karena putus asa. Tapi, aku ingat perkataanmu bahwa bunuh diri adalah tindakan yang sia-sia sehingga aku tak melakukannya. Kamu tidak perlu takut dengan kecemasanmu dan yakinlah kepada dirimu sendiri bahwa kamu pasti bisa berubah. Sandi, sampai kapan pun aku tetap akan mencintaimu.
~Marsya~
Deg! Ada benda keras yang menggedor-gedor dadaku dari dalam. Sesak seperti terserang asma. Semua kata yang ada dalam dada dan kepala mengejawantah air mata. Tubuhku melorot menyentuh lantai. Ya Tuhan, aku sudah menyia-nyiakan orang yang mencintai dan menerimaku apa adanya.
Cairan bening meleleh dari sudut mata. Seolah ada kekuatan besar yang merasuki tubuhku hingga jiwaku bergetar. Harusnya aku tak meninggalkan Marsya. Harusnya aku mempertahankan pernikahanku yang sejak awal kurancang agar bisa menjadi laki-laki sejati yang mencintai dan dicintai perempuan. Bukankah itu tujuanku menikah dengannya? Meskipun itu sulit, kalau aku yakin dan berusaha memperbaiki diri, pasti bisa.
Segera aku bangkit dan mengejar Marsya. Semoga aku sempat menyusulnya. Akan tetapi, aku harus pergi ke mana? Ah, aku bingung.