I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #18

Amnesia

Aku didiagnosis menderita penyakit retrogade amnesia atau ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu yang lebih dari peristiwa lupa biasa. Penyakit itu terjadi karena jaringan saraf di otak terganggu sehingga berdampak pada gangguan daya ingat. Itulah sebabnya aku tidak bisa mengingat semua masa laluku. Penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi butuh waktu yang tidak bisa ditentukan.

Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku baru tahu kalau ternyata dokter yang memeriksaku bernama Annisa dan dia adalah putri Kiai Mustofa. Dia masih muda dan sepertinya sepantaran denganku. Aku mengetahuinya dari salah satu santri yang menjagaku, Adit.

Satu minggu kemudian, aku diperkenankan pulang. Kiai Mustofa membawaku ke rumahnya sambil menunggu informasi keberadaan keluargaku. Sayangnya saat aku kecelakaan, dompet dan semua yang bisa dijadikan petunjuk tidak ada. Entahlah, jangan paksa aku saat ini untuk mengingat. Aku tak sanggup. Hanya satu yang dapat dijadikan petunjuk paling tidak mengetahui siapa namaku, yakni tulisan di dasbor mobil. Sebuah nama, “Ari Sandiago Revan”.

Jadi, itu namaku? Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa dengan namaku sendiri? Bahkan, aku juga lupa siapa dan di mana keluargaku tinggal.

Kiai Mustofa berusaha mencari informasi tentang siapa aku dan keluargaku. Namun, karena tak ada petunjuk, sudah pasti sangat sulit. 

Rumah Kiai Mustofa cukup nyaman. Aku disambut dengan baik oleh keluarganya. Kia Mustofa memiliki tiga orang anak. Yang bungsu sudah meninggal ketika berusia 17 tahun karena menderita penyakit leukimia, anak keduanya adalah dokter yang memeriksaku di rumah sakit, dan yang sulung sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta.

Tak jauh dari rumah Kiai Mustofa, terdapat dua gedung bertingkat tempat para santri tinggal dan belajar. Sebuah masjid yang cukup besar memisahkan dua bangunan tersebut. Bangunan yang dihuni santri putra dan santri putri.

Pagi itu aku tak melihat dokter berparas cantik alias putri kiai itu. Dokter berhijab itu sudah mencuri perhatianku sejak awal bertemu di rumah sakit.

Waktu terus berjalan. Keadaanku perlahan berangsur membaik. Perban di kepalaku juga sudah lepas. Kini, aku pun mulai beradaptasi dengan lingkungan pondok pesantren. Senang sekali bisa bertemu dengan para ulama, santri, serta keluarga Kiai Mustofa. Mereka sangat baik.

Sudah sebulan lebih aku tinggal di rumah Kiai. Belum ada tanda-tanda di mana keluargaku berada. 

“Abah, izinkanlah aku tinggal di sini.” ucapku suatu ketika dan langsung diiyakan oleh Kiai Mustofa.

Aku benar-benar merasa nyaman berada di lingkungan pondok pesantren. Mendengar suara azan, mendengar para santri mengaji, hatiku merasa tenteram dan damai.

Aku mulai mengenal anak-anak santri seperti Adit, Faizal, Robbi, dan Dahlan yang selama aku sakit, mereka bergiliran menjagaku. Mereka sering mengajakku mengobrol walau terkadang aku tidak mengerti apa yang mereka ucapkan.

Beberapa hari belakangan aku tidak melihat Annis. Kata Pak Kiai, Annisa sering di luar rumah dan pulang ketika malam hari.

Malam itu, sekitar pukul tiga dini hari, aku terbangun lantaran ingin ke kamar mandi. Saat menuju kamar mandi, di sudut kamar kudengar seorang perempuan membaca kitab suci Al-Qur’an. Penasaran, aku coba mendekati kamar tersebut. Pintunya agak terbuka sedikit. 

"Annisa?" gumamku sangat lirih. 

Suaranya merdu sekali. Hatiku bergetar mendengarnya. Ternyata gadis itu tidak hanya cantik dan baik, tetapi juga pandai mengaji.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sentuhan di bahuku.

***

"Kamu sedang apa?" tegur Kiai Mustofa.

Lihat selengkapnya