Waktu terus berjalan. Aku semakin giat belajar agama. Bahkan, sudah hafal doa-doa salat dan tata cara salat yang baik dan benar. Aku semakin merasa nyaman tinggal di pondok pesantren ini. Di sini, aku seolah menemukan sebuah kedamaian. Jiwaku menjadi tenang dan tak lagi merasa gelisah serta waswas meski divonis amnesia.
Seperti biasa, kegiatanku di pesantren adalah belajar agama. Selain itu, aku juga mengikuti kegiatan yang dilakukan para santri, seperti joging di pagi hari, geladi bersih, dan kegiatan-kegiatan yang dapat membuat pikiran menjadi fresh, seperti memancing di tambak dan bercocok tanam karena di pondok juga memiliki area persawahan dan pertambakan.
Pada saat para santri sedang belajar, aku biasanya mengisi waktu untuk menulis. Entah mengapa, setiap kali aku melihat buku dan pulpen, rasanya hatiku tergerak untuk menulis. Mungkinkah hal ini berkaitan dengan masa laluku? Bisa jadi. Bahkan, tanpa sadar ketika ada kegiatan English Day di pondok setiap hari Minggu, aku ikut-ikutan berbahasa Inggris. Anak-anak santri terkejut ketika mendengarku fasih dalam berbahasa Inggris. Abah yang mengetahuinya pun merasa sangat kagum. Bagaimana mungkin aku yang hilang ingatan dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris? Abah sempat bertanya bagaimana aku bisa fasih dalam berbahasa Inggris dan sekali lagi aku jawab tidak tahu. Semoga saja perkembangan ini berdampak baik dalam memulihkan ingatanku.
Suasana di pondok pesantren terasa begitu damai dan nyaman. Keluarga Abah sudah seperti keluargaku sendiri. Oleh karena itu, Abah dan Umi tidak pernah melarangku untuk jalan bareng dengan Annisa. Mereka sepenuhnya percaya kepadaku. Bahkan, Abah sempat mengutarakan keinginannya untuk menjodohkanku dengan Annisa agar terhindar dari fitnah.
Aku belum bisa memberikan jawaban karena masih bingung dan merasa tidak enak. Apa pantas aku disandingkan dengan Annisa dan apakah dia juga menerima perjodohan ini? Meski begitu, sebenarnya aku memiliki rasa kepada Annisa.
"Besok aku ada seminar di salah satu kampus di Lamongan, Abah. Pihak kampus mengundangku untuk bedah buku," kata Annisa di sela-sela makan siang.
Bedah buku? Apa Annisa penulis? Kenapa aku baru tahu sekarang? Padahal, kami sering ngobrol bareng.
"Lamongan cukup jauh dari sini, Nak. Kamu ke sana sama siapa dan naik apa?" tanya Abah.
"Naik bus. Kalaupun bawa mobil, pasti Abah dan Umi melarangku menyetir sendiri, kan?" Annisa berkomentar.
"Memang Umi tidak setuju kamu membawa mobil sendirian. Harus ada yang menemani." Umi menimpali.
"Tapi, Umi ...." Annisa hendak membantah, tetapi niat itu diurungkannya.
"Kalau begitu, biar Nak Ari yang antar kamu. Bagaimana?" saran Abah.