I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #21

Terjatuh

Hari ini untuk kesekian kalinya Annisa mengajakku turun gunung. Selain magang di rumah sakit, dia biasanya mendatangi rumah-rumah warga di kawasan lereng gunung untuk pemeriksaan kesehatan.

Pesantren milik Kiai Mustofa (Abah) terletak di kawasan pegunungan, cukup jauh dari kota. Kata Annisa, semenjak memutuskan untuk menjadi dokter, dia ingin mendedikasikan dirinya untuk masyarakat yang kurang mampu dan belum memiliki akses berobat ke dokter. Rumah sakit sangat jauh dari perkampungan. Sebetulnya, Annisa tidak punya niat untuk menjadi dokter. Setelah lulus dari pondok pesantren, Annisa melanjutkan kuliah di Mesir, jurusan Ilmu Fiqih. Pertemuannya dengan seorang anak di jalanan, mengubah pandangannya. Anak itu bernama Rasya, seorang pengemis cilik. 

Annisa bertemu dengan Rasya saat pulang dari kampus. Dia terenyuh melihat seorang anak berusia lima tahun mengemis di jalanan. Annisa kemudian mencari informasi mengenai anak itu. Ternyata Rasya mengemis karena ibunya sakit. Betapa mengejutkannya ketika Annisa tahu bahwa Rasya adalah keturunan orang Indonesia. Ibunya seorang TKW asal Indonesia yang kabur dari rumah majikan karena mendapatkan kekerasan dan menjadi korban pemerkosaan dari majikannya hingga lahirlah bayi yang bernama Rasya. Yang paling menyedihkan adalah Rasya dan ibunya tinggal di kolong jembatan bersama dengan orang-orang yang senasib dengannya. Tidak tanggung-tanggung ada ratusan orang. Bahkan, mereka ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di tempat yang tidak layak huni itu selama belasan tahun. Mereka semua telantar.

Pemerintah seolah tutup mata dengan kondisi mereka. Hati Annisa pun tergerak untuk menolong mereka. Itulah alasan yang memantik nurani Annisa untuk menjadi dokter. Dia ingin memberikan pengobatan bagi mereka yang sakit. Akhirnya, ketika memasuki semester tiga, Annisa memutuskan untuk pindah jurusan kedokteran.

Seperti yang sudah-sudah, kami berangkat dengan berjalan kaki. Akses untuk menuju rumah orang yang sakit itu cukup sulit. Jalannya terjal dan susah untuk dilewati kendaraan bermotor.

Jarak dari pondok pesantren ke desa yang kami tuju tidak terlalu jauh, tetapi dengan kondisi yang seperti ini dapat memakan waktu yang cukup lama. Kami harus sangat berhati-hati melalui semak belukar dan jalanan yang cukup curam serta licin. Keadaan seperti ini yang dikhawatirkan oleh Abah. 

Pada awalnya, Abah tidak mengizinkan Annisa turun gunung apalagi pergi sendiri. Sementara itu, Annisa sendiri jarang mau ditemani oleh siapa pun meskipun yang menemaninya adalah santriwati. Semenjak ada aku dan desakan Annisa maka Abah mengizinkan. Seperti kemarin waktu ke Lamongan. Biasanya, Annisa tidak pernah diizinkan keluar sendirian apalagi ke luar kota.

Entah mengapa, Abah dan Umi memercayaiku untuk menemani Annisa, padahal aku ini bukan siapa-siapa mereka.

"Dulu ketika aku memutuskan untuk menjadi dokter, Abah tidak setuju," ujar Annisa di sela-sela perjalanan.

"Alasannya? Bukankah menjadi dokter itu perbuatan yang mulia karena membantu orang yang sakit?"

"Betul. Tapi pemikiran Abah lain. Untuk menjadi dokter akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain baik laki-laki maupun perempuan yang notabene adalah pasien. Ketika dalam proses pemeriksaan, pasti akan terjadi kontak fisik. Kamu tahu sendiri, bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya itu dosa. Abah tidak mengharapkan itu terjadi," jelas Annisa. 

"Lalu apa pendapatmu?"

Lihat selengkapnya