"Bangun, Ri. Ayo, bangun!"
Suara itu terngiang-ngiang di telingaku. Tubuhku seolah mati rasa. Aku terbayang wajah Papa dan Mama. Mereka seperti tepat berdiri di hadapanku. Kemudian, tampak juga seorang gadis yang sering menghantui pikiranku. Tidak!
Seketika kedua mataku terbuka.
Aku teringat Papa dan Mama serta gadis itu. Ya, sebenarnya sudah beberapa bulan terakhir aku sudah bisa mengingat kedua orang tuaku juga Marsya.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga!" seru seorang gadis.
Sesaat aku terdiam. Kulihat banyak orang di sekelilingku. Wajah-wajah baru. Aku tidak mengenal mereka.
"Aku di mana?" tanyaku kepada gadis berjilbab di sampingku yang tidak lain adalah Annisa.
Dia meminta salah satu ibu-ibu untuk mengambilkan kapas dan alkohol guna membersihkan luka yang ada di tubuhku. Tak lama kemudian, ibu-ibu yang diminta tolong datang membawa kapas dan alkohol.
"Apa kamu tidak ingat, kamu tadi pingsan saat jatuh terperosok. Aku lalu minta tolong warga sekitar dan mereka membawamu ke rumah salah satu warga di sini," terang Annisa sembari membersihkan luka di kakiku yang masih terdapat bercak darah.
Agak terasa perih, tetapi aku mencoba menahannya. Kepalaku juga terasa pening. Sepertinya ada sesuatu yang membungkus sebagian kepalaku. Aku merabanya dan benar ada kain kasa yang membalut kepalaku. Aku juga merasakan nyeri pada kaki. Aku melirik bagian kaki yang tengah diobati Annisa dengan antiseptik. Rasa perihnya menjalar ke seluruh tubuh.
"Jangan dipegang dulu. Lukamu masih basah." Spontan Annisa menyingkirkan tanganku supaya tidak menyentuh luka yang baru saja dia obati.
"Apa ada yang bisa kami lakukan lagi, Bu Dokter?" tanya salah satu warga. Sepertinya mereka cukup akrab dengan Annisa.
"Sudah, Pak. Terima kasih."
"Kalau begitu kami boleh pergi sekarang?" Salah satu warga lainnya bertanya.
"Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu boleh pergi. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya."
"Kalau ada apa-apa, Bu Dokter boleh memanggil kami. Jika dibutuhkan, kami siap membantu," yang lain menimpali.
"Terima kasih, semuanya."
Satu per satu warga yang mengerumuniku bubar, menyisakan aku, Annisa, dan tentu saja sang pemilik rumah.
"Saya permisi sebentar, mau membuat minuman dulu,” kata Bu Ani, sang pemilik rumah.
"Mohon maaf, Bu Ani, sudah merepotkan. Saya butuh air putih saja," pinta Annisa.
"Ya sudah, saya ambilkan dulu." Bu Ani lalu ke dalam. Tak berapa lama, dia sudah kembali dengan membawa dua gelas air minum.
"Satu saja cukup, Bu. Terima kasih," kata Annisa sembari mengambil satu gelas air putih yang tadi dibawakan sang pemilik rumah. Kemudian dia memberikan kepadaku.
"Kamu minum dulu." Annisa membantuku untuk minum. Setelah itu, dia meletakkannya di atas meja.
Aku menggeser tubuh untuk mendapatkan posisi yang nyaman karena seluruh badan terasa sakit.
"Kepalamu masih sakit?" tanya Annisa cemas.
"Sudah agak mendingan,tetapi kakiku rasanya cenut-cenut.” Aku memegangi bagian kaki yang sakit yang tadi diobati Annisa.
"Tidak apa-apa. Itu artinya obatnya merasuk. Obat tersebut akan membantu supaya luka-lukamu cepat kering."
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu Dokter?” Bu Ani menawarkan bantuannya.