Annisa sedang duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai bersama seorang anak laki-laki. Itukah yang bernama Rasya, anak kecil yang menjadi pengemis di Mesir. Ternyata dia sudah dipulangkan ke Indonesia, seperti yang pernah diceritakan Annisa kepadaku.
Annisa tampak asyik mengobrol dengan Rasya. Melihat senyumnya yang manis, mengingatkan aku kepada Marsya. Setali tiga uang, aku menyukai keduanya. Cukup lama aku berdiri mematung sembari memperhatikan Annisa dari kejauhan. Sepertinya Annisa belum menyadari keberadaanku.
"Ehem." Aku bergumam.
Spontan Annisa dan Rasya menoleh.
"Ari? Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?"
"Aku sudah menduga kamu pasti akan datang kemari."
"Ada perlu apa sampai kamu menyusulku?" tanya Annisa sedikit ketus. Sepertinya dia tidak suka dengan kehadiranku.
"Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu. Ada satu hal yang perlu kita bicarakan."
"Hal apa? Bukankah sekarang ingatanmu sudah kembali. Lalu, hal apa lagi?"
Entah mengapa, sikap Annisa kepadaku sekarang berubah dingin. "Ayo, Sya, kita ke rumah. Permisi." Annisa menggandeng Rasya dan berjalan melewatiku.
"Tentang perjodohan itu.”
Annisa menghentikan langkahnya. Ia menghela napas berat.
"Rasya, kamu pulang dulu, ya, nanti Kakak nyusul. Kakak mau bicara sama Kak Ari."
"Kakak tidak apa-apa ditinggal sendiri?"
"Tidak apa-apa, Rasya. Sudah, sana."
"Kalau begitu, Rasya pergi dulu, ya, Kak. Assalamualaikum," kata Rasya sambil mencium tangan Annisa.
"Waalaikumussalam," sahut Annisa.
"Waalaikumussalam." Aku juga menjawab salam Rasya walau dengan suara pelan.
"Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu dengan Abah. Sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Ari Sandiago Revan!" tatapan Annisa begitu nanar.
Kata-kata Annisa yang memanggilku dengan nama lengkap seolah menekankan bahwa dia menyimpan sesuatu dalam hatinya. Entah apa yang sedang dipikirkannya tentangku saat ini.
"Apa kamu marah kepadaku karena aku menolak perjodohan itu?"
"Kenapa aku harus marah? Maaf, aku harus pergi. Assalamualaikum." Annisa buru-buru pergi. Tanpa menjawab salamnya, aku langsung menyambar lengannya yang terbungkus baju hijab.
“Akù suka kamu." Akhirnya tiga kata itu terlontar dari mulutku.
Waktu seolah berjalan lambat. Aku masih mencengkeram lengan Annisa. Dia bahkan tidak berusaha untuk melepaskan ketika bersentuhan dengan lawan jenis. Tak suka berbicara dengan orang yang membelakangi, kugeser tubuhku ke depan Annisa. Jarak kami hanya beberapa senti.
"Kalau boleh aku meminta, lebih baik Allah menghapus semua kenangan masa laluku supaya bisa memilihmu."
"Tapi itu tidak mungkin, kan? Sudahlah. Lupakan aku,” tegas Annisa.
"Aku suka kamu, Annisa. Bagaimana bisa aku melupakanmu?” Aku tersenyum hambar ketika melihat ekspresinya.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kembali aku berujar, “Kenapa waktu itu kamu menangis saat mengetahui aku menolak perjodohan itu. Apa karena ada perempuan lain di masa laluku? Atau jangan-jangan kamu juga menyukaiku?" Kutancapkan pertanyaan di relung hatinya. Membuat Annisa mematung seketika. "Kenapa diam?"