Lima hari kemudian .…
Dadaku berdebar-debar saat menantikan Mama keluar dari ruang radiologi di rumah sakit Elisabeth, Singapura. Entah berapa kali Mama menjalani radioterapi di rumah sakit ini dan hanya ditemani satu asisten kepercayaannya. Sementara itu, aku sebagai anak bahkan tidak pernah tahu penyakit yang diderita Mama. Ke mana saja aku selama ini? Sungguh, jika sampai terjadi apa-apa dengan Mama, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.
Kata asisten Mama, selama satu setengah tahun terakhir, sudah lima kali Mama menjalani perawatan.
Setengah jam kemudian, Mama keluar dari ruang radiologi.
Kulihat Mama terbaring di atas kereta dorong dengan mata terpejam karena pengaruh obat. Wajahnya tampak tirus dan kepalanya plontos. Entah, sudah berapa kali Mama menjalani kemoterapi. Pasti sakit sekali. Ya Tuhan, aku sangat prihatin melihat kondisinya. Maafkan aku, Ma.
Dari ruang radiologi, Mama dipindahkan ke ruang rawat inap. Hatiku rasanya diiris-iris. Berkali-kali aku merutuki diri sendiri. Anak macam apa aku ini?
Tak terasa sudah satu jam aku berada di bangsal tempat perawatan Mama. Matanya masih terpejam. Wanita yang dulu aku benci setengah mati, wanita yang selalu aku salahkan atas kematian Papa, kini terbaring lemah tak berdaya dengan selang oksigen yang melekat di lubang hidung dan jarum infus yang menancap di pergelangan tangan.
Kuraih tangan kanan Mama lalu menggenggamnya. “Ma, bangun,” lirihku.
Kumenatap lamat-lamat wajah Mama yang tampak keriput di sana-sini. Dulu, sebelum sakit, ia terlihat cantik meski usianya tidak muda lagi. Namun, sekarang? Lihatlah. Dia seperti wanita yang begitu menyedihkan. Ingin rasanya aku memeluk dan menciumnya. Menumpahkan segala rasa dan permohonan maaf. Bila perlu bersujud di kakinya. Sungguh, aku telah menjadi anak yang durhaka.
***
Sebuah gerakan kecil terasa di genggamanku. Jemari Mama bergerak. Matanya perlahan terbuka. Mama terkejut melihatku berada di sampingnya. Seketika itu air mataku meleleh.
“Maafkan Ari, Ma. Ari sudah membuat Mama menderita,” ucapku sembari mencium tangan Mama.
Mama menarik tangannya dengan lembut, lalu membelai rambutku. Aku tak berani menatap wajahnya yang teduh. Begitu banyak penderitaan yang aku timbulkan. Pasti Mama sakit karena memikirkanku. Kepalaku masih tertunduk dan butiran bening masih menetes dari sudut mata.
“Sudahlah, Nak. Kamu tidak salah apa-apa.”
Mama mengangkat daguku, kemudian mengusap pipiku yang basah. Sentuhannya begitu lembut. Sentuhan yang sering aku rasakan saat masih kecil.
“Kenapa Mama melakukan semua ini? Kenapa, Ma?”
Kupegangi tangan Mama yang masih menempel di pipiku. Sesekali aku menciumnya.
“Untuk keluarga kita. Sudah, jangan menangis. Mama jadi ikutan sedih.” Dengan senyum yang mengembang, Mama terlihat tegar.
Kutatap Mama lekat. Meski dalam kondisi sakit, Mama masih bisa tersenyum. Seketika itu, kebencianku terhadapnya menguar begitu saja.
“Mama tidak menyangka kamu ada di sini. Mama senang sekali.”
“Ari sayang Mama.” Rasanya aku tidak kuat lagi menahan untuk tidak memeluk Mama.
“Mama juga sayang kamu, Nak,” balas Mama. Dia kembali mengelus rambutku saat tubuhku melekat memeluknya.
“Di mana menantu Mama itu?” tiba-tiba Mama mengucapkan kalimat pertanyaan yang membuatku tercengang.