Penerbangan dari Bandara Changi Internasional, Singapura menuju Bandara Internasional Juanda, Surabaya membutuhkan waktu sekitar 2 jam 25 menit dengan maskapai Garuda 855. Sesuai dengan jadwal, aku tiba di tempat tujuan sekitar pukul 20.55 WIB. Surabaya, aku kembali!
Kali ini tujuanku adalah mencari Marsya. Ya, sesuai dengan permintaan Mama, aku harus membawa calon menantunya itu. Karena sudah malam, untuk sementara aku menginap di hotel. Besok baru melakukan pencarian.
Pagi-pagi sekali aku meluncur ke perumahan elite di kawasan Dharmo Satelit. Rumah di ujung gang bergaya arsitektur Eropa dengan pagar besi berwarna keemasan. Seingatku, ini rumah orang tua Marsya. Ya, Marsya pernah mengajakku kemari. Tidak salah lagi. Aku turun dari Taxi online ketika melihat seorang perempuan keluar dari pagar.
“Sebentar, ya, Mas,” kataku kepada sopir. Dia mengangguk.
“Mbak, Mbak tunggu …!“ ucapku kepada perempuan yang memakai daster biru. Usianya sekitar 22 tahun.
Sesaat, perempuan yang rambutnya dikuncir kuda itu memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik.
“Mas ini siapa dan ada perlu apa memanggil saya?”
“Marsyanya, ada?”
“Marsya? Marsya siapa?” kening perempuan itu berkerut. “Maaf, ya, Mas, saya harus pergi berbelanja,” lanjutnya sebelum berlalu.
“Tunggu sebentar, Mbak. Aku cuma mau tanya. Marsyanya ada?” cegahku.
“Haduh, Mas, di sini tidak ada yang namanya Marsya,” desahnya.
“Marsya anak pemilik rumah ini. Masa tidak tahu?” Aku mulai kesal.
“Beneran, Mas. Di sini tidak ada yang namanya Marsya. Kalau anak pemilik rumah ini namanya Melinda dan masih sekolah. Barusan dia berangkat.”
“Bukan Melinda, Mbak tapi Marsya.’”
Duh, susah menjelaskan pada perempuan satu ini. Jelas-jelas ini rumahnya Marsya, lebih tepatnya rumah orang tuanya. Marsya pernah mengajakku kemari. Aku masih ingat betul dengan kondisi rumahnya yang bercat keemasan. Apa jangan-jangan dia pembantu baru di rumah ini? Aku coba mengingat-ingat nama ayah Marsya.
“Kalau tidak salah nama ayahnya adalah Pak Sucipto.”
“Berapa kali saya harus menjelaskan, di sini tidak ada Marsya. Saya memang pembantu baru di sini Mas, tetapi majikan saya yang punya rumah ini, namanya Pak Jonny dan istrinya bernama Bu Gayatri. Kalau Mas-nya mencari mereka, mohon maaf, mereka sedang tidak ada di rumah. Kalau tidak percaya, Mas bisa tanya sama satpam kompleks. Tuh, di sana.” Perempuan itu menunjuk pos satpam di ujung perempat jalan dengan kesal. “Permisi, Mas. Saya buru-buru,” ujarnya kemudian. Benar dugaanku. Dia pembantu baru.
Perempuan muda berkulit kecokelatan itu melewatiku. Lalu mencegat tukang ojek yang kebetulan lewat. Setelah itu, motor bebek yang ditumpangi membawanya pergi.
Aku mengembuskan napas panjang. Apa jangan-jangan aku yang salah rumah, ya? Ah, tidak mungkin!
Lantas, aku menuju pos satpam yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Hanya menyeberang jalan. Di sana ada dua satpam penjaga. Satunya duduk di bangku kayu depan pos. Sementara itu, yang satunya masuk ke dalam pos.
“Permisi, Pak, numpang tanya. Rumah di ujung sana, rumahnya siapa, ya?” tanyaku pada satpam berkumis tipis yang duduk di kursi kayu sembari menunjuk rumah berpagar besi bercat keemasan.