I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #27

Bertemu Pak Handoko

Sekitar pukul satu siang, aku meluncur ke Malang. Baru menempuh tiga kilometer perjalanan, aku hampir saja menabrak tukang gerobak sampah yang tiba-tiba menyeberang jalan. Untung saja aku bisa mengendalikan mobil. Kalau tidak, entah bagaimana nasib orang itu.

"Bapak tidak apa-apa?" tegurku kepada tukang gerobak tersebut. Dia tengah menepikan gerobak sampahnya. Seorang laki-laki setengah baya dengan baju lusuh dan memakai topi koboi berwarna cokelat. Dia menundukkan kepalanya sehingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Bapak itu sempat melihat wajahku sekilas, lantas buru-buru pergi sambil mendorong gerobaknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku sempat memperhatikan wajahnya. Mengingatkan pada seseorang. Detik berikutnya, aku sadar.  

"Pak Handoko! Tunggu!"

Tanpa menunggu lama aku bisa menangkapnya. Pak Handoko sempat melawan. Dia berusaha untuk lolos dari sergapanku, tapi lagi-lagi aku berhasil menangkapnya. Tak ada niat untuk menyakitinya. Aku hanya bermaksud untuk menanyakan sesuatu kepadanya. Aku prihatin dengan kondisinya sekarang.

"Bapak jangan pergi. Saya tidak punya niat jahat kepada Bapak. Demi Allah. Jadi, tolong Bapak tenang. Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Bapak." Aku terus memegangi gerobak Pak Handoko supaya dia tidak berusaha kabur.

"Biarkan Bapak pergi," kata Pak Handoko kemudian setelah sempat bungkam.

"Saya tidak akan membiarkan Bapak pergi sebelum Bapak mau berbicara dengan saya. Saya mohon, Pak. Sebentar saja. Setelah itu Bapak boleh pergi."

Pak Handoko akhirnya pasrah setelah aku memberikan pengertian. Aku lalu mengajaknya mencari tempat duduk supaya kami bisa mengobrol. Tiba-tiba saja Pak Handoko bersimpuh di hadapanku sambil menangis tersedu-sedu.

"Pak, jangan begini. Bangun." Aku mengangkat tubuh Pak Handoko, lalu mendudukkannya di sebelahku.

"Maafkan Bapak, ya, Nak Ari. Bapak telah melakukan banyak kesalahan terhadap keluarga Nak Ari. Sekarang, Bapak sudah mendapatkan ganjarannya," rintih Pak Handoko sembari menempelkan keningnya pada punggung tanganku.

"Jangan begini. Saya sudah memaafkan Bapak."

Melihat kondisi Pak Handoko yang sekarang membuat hatiku tersentuh. Keadaan beliau sangat berbeda seratus delapan puluh derajat. 

"Tapi Bapak sudah membuat keluarga Nak Ari menderita. Kesalahan Bapak sangat besar."

"Pak Handoko tidak perlu meminta maaf kepada saya. Minta maaflah kepada Allah. Ini semua sudah kehendak-Nya. Lagi pula sebelum Bapak minta maaf, saya sudah memaafkan Bapak," hiburku.

"Tidak, Nak Ari. Bapak tidak pantas untuk dimaafkan. Bapak sudah mendapatkan hukuman atas perbuatan Bapak," sesal Pak Handoko.

Akhirnya, kami mengobrol sejenak. Aku bercerita kalau Papa sudah tidak ada, sedangkan Mama berada di Rumah Sakit Elisabeth, Singapura. Dia sangat menyesal karena belum sempat meminta maaf kepada kedua orang tuaku. Kemudian kuberikan sejumlah uang untuk keperluan sehari-hari. Pak Handoko sempat menolak dengan berbagai alasan, tapi akhirnya dia menerima juga. Aku tidak bisa mengobrol dengan Pak Handoko lebih lama karena waktuku terbatas. Aku harus sampai di pondok sebelum Annisa berangkat ke Mesir. 

***

Usai melakukan perjalanan selama dua jam lebih, akhirnya aku sampai juga di pondok pesantren milik Kiai Haji Mustofa.

 Sesampainya di sana, aku disambut antusias oleh santri yang kebetulan tengah membersihkan halaman. 

Tinggal berbulan-bulan di pondok membuatku akrab dengan para santri. Mereka kaget dengan kemunculanku. Apalagi aku membawa mobil sport. Terutama Adit. Dia malah heboh. Suasana pun mendadak menjadi rame.

"Wah, ternyata kakak orang kaya, punya mobil sport segala. Keren," puji Adit. Beberapa anak mengelus-elus mobilku. Bahkan, ada yang mengelus bannya juga. Aku hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum.

"Oh ya, Dit. Abah ada?"

"Ada di ndalem1. Lagi siap-siap kayaknya. Hari ini Kak Annisa mau berangkat ke bandara."

"Maksudnya mau berangkat ke Mesir. Bukannya besok?"

"Tidak tahu juga, Kak. Aku saja tahunya dari anak-anak."

"Ya sudah, Kakak tinggal dulu, ya," pamitku sambil bergegas menuju ndalem.

Sampai di depan kediaman Abah, aku mengucap salam. Tak berapa lama Umi keluar disusul Abah sambil menyeret koper besar. Mataku menyipit mencari seseorang. Mana Annisa?

Tak lama kemudian, mukaku menjadi semringah. Annisa muncul dari balik ruang tengah. Dia juga tengah menyeret koper. Annisa terkejut ketika melihatku, lantas buru-buru kembali ke dalam. Apakah dia masih marah? Apakah kedatanganku kurang tepat ataukah memang kehadiranku di sini tidak diharapkan?

Annisa, sejujurnya, aku merindukanmu. Sungguh, hati ini tak bisa dibohongi. Ya Tuhan, mengapa aku harus menghadapi situasi semacam ini? 

Aku serba salah. Namun, Abah memecah suasana yang beku itu dengan menyuruh Umi menyusul Annisa, kemudian Abah mengajakku berbincang-bincang seperti tidak ada masalah apa-apa. Dalam hal ini aku juga mengutarakan keinginanku menyumbangkan sebagian harta peninggalan orang tuaku untuk pembangunan pondok pesantren. Abah sangat senang sekali mendengarnya.

Hanya saja pikiranku tetap melayang kepada Annisa. Aku tahu, sebenarnya Abah menyadari hal itu. Dia berusaha untuk menenangkan. Tak lama setelah itu, Umi keluar. Annisa mengekor di belakang dengan menundukkan kepala. Entah, apa yang ada di pikiran Annisa saat ini. Kenapa sekarang dia malu-malu bertemu denganku, bahkan tidak mau menatap wajahku. Padahal, dulu sikapnya begitu ramah terhadapku. Sekarang? sangat berbeda. Memang hati perempuan itu susah untuk ditebak.

Kata Abah, jadwal penerbangan Annisa ke Mesir sekitar pukul sepuluh malam. Sepertinya kedatanganku di saat yang tepat. Jelas-jelas Annisa tidak mau bertemu denganku.

"Biar Nak Ari saja yang mengantarmu ke bandara," kata Abah.

"Katanya Abah sendiri yang mau mengantarkan Annisa. Ayolah, Bah. Tidak biasanya Abah melanggar janji,” tolak Annisa.

"Harusnya Abah yang bilang begitu. Tidak biasanya kamu menolak permintaan Abah."

"Tapi kan Abah sudah berjanji."

"Kapan Abah berjanji? Abah hanya bilang insyaallah, jika Allah menghendaki, Abah akan mengantarmu sampai ke bandara," kata Abah yang kemudian melirik ke arah Umi, seolah memberikan isyarat untuk mengatakan sesuatu.

Lihat selengkapnya