I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #31

Samuel Mualaf

Jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Sudah waktunya salat Jumat. Kuputuskan untuk menghentikan pencarian, lalu menuju ke masjid terdekat.

Setelah salat Jumat, aku menuju mobil di area parkiran. Di perempatan, seorang nenek menyeberang jalan. Aku turun dari mobil, lalu membantu nenek tersebut menyeberang. Setelah itu kembali ke mobil. Tak disangka aku berpapasan dengan seseorang.

"Samuel?" 

Mampus! Kenapa aku harus bertemu Samuel? Ya Allah. Padahal aku berharap supaya tidak bertemu dengan dia lagi. 

"Ari?" Samuel juga terkejut. Kemudian mengulurkan tangan. 

Mendadak aku berkeringat dingin. Sial!

Dengan terpaksa aku menyambut uluran tangannya. Bersalaman.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Samuel. Pertanyaannya itu malah membuatku semakin tegang. 

"Ba-baik,” jawabku canggung. Tidak tahu apa yang mesti harus kuperbuat. Berhadapan dengan orang yang dulu telah merusak reputasiku.

Jujur, sebenarnya aku muak melihat wajahnya. Gara-gara dia, aku dicap gay oleh sebagian orang.

"Kamu terlihat tegang saat melihatku, seperti melihat hantu saja. Santai, Kawan. Aku tidak menggigit," candanya sambil menepuk lenganku seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. 

Tepukan Samuel membuatku merinding. Aku tersenyum kecut. Sialan. Dia tahu aku gugup.

Heran dengan sikapnya yang mendadak berubah. Bukankah dulu ia sempat mengancam bakal membuat hidupku tidak tenang? Apa yang terjadi? Secepat itukah melupakan kejadian waktu itu? Dan penampilannya? Hei, ada yang aneh dari penampilan Samuel. Dia memakai baju koko dan peci? Itu kan busana muslim untuk laki-laki. Sementara itu, dia kan nonmuslim? Jangan-jangan ….

Seolah tak percaya, kupandangi sekali lagi penampilan Samuel dari ujung kaki hingga ujung kepala untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tidak salah lagi, penampilan Samuel berubah seratus delapan puluh derajat.

Samuel melambaikan tangan di depan wajah untuk menyadarkanku dari keterkejutan.

"Kok malah bengong? Kamu kaget melihat penampilanku?" Samuel bersuara seolah tahu jalan pikiranku. Mampus.

"Kamu salat Jumat?" tanyaku.

Lihat selengkapnya