Usai makan, percakapan masih berlanjut hingga di dalam mobil. Samuel tidak membawa mobil. Katanya tadi dia ke masjid naik ojek online. Mobilnya sedang ada di bengkel. Jadi, aku akan mengantarnya ke kantor. Aku sudah tidak canggung lagi bila bersama dengan Samuel. Apalagi setelah aku dan Samuel sama-sama mengalami perjalanan spiritual. Hubungan kami jadi lebih baik. Seperti teman biasa. Tidak lebih.
"Apa ini?" Samuel mengambil novel yang ada di atas dasbor mobil.
"Novel. Kaulah jodohku. Ari Sandiago." Samuel mengeja judul dan nama pengarang novel yang dipegang. Alisnya terangkat. Lalu, menoleh ke arahku. "Sejak kapan kamu suka membaca novel?"
Sesaat Samuel terdiam. Lalu membaca ulang sampul novel yang dipegangnya dan kembali menatapku. "Tunggu, nama lengkap kamu bukannya Ari Sandiago Revan?" lanjutnya.
Aku menjawab dengan anggukan sambil tetap konsentrasi menyetir.
"Jadi, novel ini kamu yang nulis?"
"Iya," kataku menegaskan.
"Wah, keren sekali. Kenapa aku baru tahu?"
"Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."
"Sejak kapan kamu jadi penulis? Ternyata berbakat juga, ya. Kenapa tidak pernah bilang kalau kamu suka nulis?" cerocos Samuel.
"Ya, sudah lama sih, tapi baru terealisasikan sekarang," kataku menjelaskan.
"Wah, hebat kamu, Ri. Lama tidak ketemu, tahu-tahu kamu sudah menjadi penulis," katanya sembari membolak-balik halaman novel tanpa bermaksud membacanya.
Sebenarnya, aku sempat deg-degan ketika Samuel memegang novelku tadi. Kupikir dia serius membaca karena cerita pada novel itu diambil dari kisah nyata perjalananku mencari Marsya. Termasuk di dalamnya juga menyisipkan kisah antara aku dan Samuel meski aku sudah mengganti karakternya. Untung saja Samuel tidak suka membaca buku fiksi. Dia tidak tertarik dengan sastra apalagi novel.
"Oh ya, Sam. Mama kemarin baru pulang dari rumah sakit di Singapura," kataku. Raut mukaku berubah sedih.
"Sakit apa?" Samuel cukup terkejut.
"Kanker otak. Aku baru tahu kalau Mama menderita penyakit itu sudah setahun lebih dan selama itu, sudah empat kali bolak-balik ke rumah sakit." Mataku berkaca-kaca saat mengingat perjuangan Mama.
“Aku turut prihatin mendengarnya. Sekarang bagaimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, semakin membaik setelah menjalani empat kali radioterapi,” ucapku sembari tetap fokus menyetir.
Sampai di perempatan jalan, mobilku berhenti sejenak saat lampu merah menyala. Sesekali aku melirik kaca spion.
"Kamu benar, Sam. Mama punya alasan sendiri kenapa melakukan semua itu. Mama bekerja keras siang dan malam untuk mengembalikan apa yang seharusnya jadi milik keluargaku. Kerja kerasnya memang membuahkan hasil. Perusahaan yang Papa bangun dengan susah payah yang pernah diambil alih Pak Handoko, kini kembali ke tangan keluargaku dan semua itu berkat usaha Mama. Entah bagaimana caranya, Mama dapat mengambilnya dari tangan Pak Handoko. Aku sangat menyesal karena sudah menyakiti Mama,” terangku panjang lebar. Air mukaku berubah melankolis.
Sebelumnya, aku sudah pernah menceritakan masalah ini kepada Samuel, tentang bagaimana keadaan keluargaku, Papa, dan Mama. Satu kesamaanku dan Samuel adalah memiliki masalah yang sama, yaitu perempuan. Aku membenci perempuan gara-gara Mama, tetapi bukan berarti aku tidak memiliki ketertarikan dengan perempuan. Aku laki-laki nomal yang memiliki orientasi seks yang normal pula. Hanya saja, kebencianku terhadap Mama yang begitu dalam membuatku tidak menyukai perempuan.
Sementara dengan Samuel, aku tidak tahu pasti mengapa memiliki orientasi seks yang menyimpang. Yang kutahu dia tidak tertarik kepada perempuan, padahal banyak sekali perempuan di luar sana yang mendekatinya.
Samuel menepuk bahuku. “Sabar, ya. Setiap masalah yang kita hadapi selalu ada hikmah. Sekarang yang mesti kamu lakukan adalah membuat mamamu bangga. Jangan sia-siakan perjuangan mamamu."
"Iya, Sam. Aku janji."
"Jadi, sekarang perkebunan kelapa sawit itu sudah menjadi milik kamu? Berarti selain penulis kamu juga seorang eksekutif muda. Wah, makin hebat saja kamu!" seloroh Samuel.
"Ah, kamu. Biasa saja kali." Mukaku berubah merah karena pujian Samuel. Bangga kepada diri sendiri karena akhirnya aku bisa membuktikan kepada Samuel bahwa aku juga bisa sukses karena usaha sendiri tanpa embel-embel siapa pun.
Benar kata Samuel waktu itu, dia pernah bilang kepadaku kalau kita meraih kesuksesan dengan usaha sendiri akan terasa berbeda.
Lampu hijau menyala, aku membanting setir ke kiri. Memasuki jalan menuju kantor Samuel.
Percakapan kami terus mengalir hingga pada masalah pribadi masing-masing. Aku bahkan lupa akan tujuanku sebelumnya.
Setelah sekian lama mengenal Samuel, baru kutahu pada dasarnya dia laki-laki normal dan bukan penyuka sesama jenis. Dia juga pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan. Bahkan, pacarnya banyak. Dia berubah seperti itu karena membenci perempuan. Mereka tidak mencintainya dengan tulus. Mereka hanya menginginkan hartanya saja. Hal itu membuat Samuel sakit hati.