Hari ini Samuel mengajakku bertemu untuk memperkenalkan calon istrinya. Kami sudah membuat janji di sebuah tempat makan. Aku menelepon Samuel dan katanya dia dalam perjalanan. Mungkin sepuluh menit lagi dia akan sampai. Aku pun mencari tempat duduk terlebih dahulu.
Aku menuju meja kosong di pojokan. Tanpa sengaja, aku menabrak seseorang ketika hendak memasukkan gawai ke saku celana.
"Maaf, Mbak, aku tidak sengaja," kataku kepada perempuan berhijab yang barusan aku tabrak sembari mengambil tasnya yang terjatuh.
"Tidak apa-apa, Mas," jawabnya lirih.
Perempuan yang mengenakan hijab berwarna cokelat muda itu juga sama-sama mengambil tas dan mau tidak mau, tangannya menyerempet tanganku. Seperti adegan dalam sinetron, pandangan kami bertemu.
"Marsya?"
"Sandi?"
Marsya hendak buru-buru pergi, tetapi aku langsung mencegatnya. "Tunggu, Sya. Jangan pergi. Aku mohon. Aku ingin bicara sesuatu. Penting," pintaku sembari memegang lengan Marsya. Marsya balik badan, lalu menghela napas. Akhirnya dengan sedikit memaksa, Marsya mau duduk.
Ya Rabb, akhirnya aku bertemu kembali dengan tambatan hatiku. Bidadari yang kucari selama ini sekarang berada tepat di depanku. Dia tampak cantik sekali dengan baju hijab yang dia kenakan. Sangat berbeda. Rasanya, aku ingin memeluk dia, menumpahkan segala kerinduan yang membuncah dalam dada.
Sejenak aku terdiam. Gugup. Tak ada satu kata pun keluar dari mulut ketika sudah bersitatap dengan Marsya. Jantungku berdesir, padahal aku sudah berencana untuk mengungkapkan isi hatiku saat bertemu Marsya lagi. Namun, mulut seolah terkunci. Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk membuka mulut.
"Bagaimana kabarmu?" kataku akhirnya.
Rasanya canggung berbicara empat mata dengan Marsya setelah apa yang telah terjadi di antara kami dulu. Aku berusaha mengendalikan diri sehingga keberanianku terkumpul dan akhirnya bisa menanyakan kabarnya walaupun dengan nada yang terdengar gugup.
"Baik. Kamu sendiri?" jawab Marsya datar. Sesekali Marsya menatapku, lalu menunduk. Sepertinya dia juga merasa gugup.
"Aku baik. Kenapa waktu itu kamu langsung pergi setelah meminta tanda tangan dariku? Kenapa kamu tidak menungguku? Padahal, aku ingin sekali bertemu denganmu. Sudah lama aku mencarimu, Sya. Aku ingin minta maaf." Kali ini aku sudah berani untuk berbicara panjang lebar. Namun, tentu saja aku belum berani untuk menyatakan perasaan.
Marsya mengangkat dagu. Dia menatapku. Binar wajahnya seperti ada sesuatu yang terpendam. Tetapi apa? Apa yang sedang Marsya pikirkan? Mungkin dia merasa tegang setelah sekian lama kami tidak bertemu. Lalu, bagaimana dengan perasaan Marsya kepadaku? Apa dia masih mencintaiku? Ataukah cintanya kepadaku sudah mati? Mati karena luka yang kuberikan?
"Aku ...." Marsya menggantungkan kata-katanya seolah ada sesuatu yang menahannya.
"Apa kamu masih marah kepadaku? Aku minta maaf. Aku menyesal sekali, Sya. Semenjak kita berpisah, aku merasa sedih karena telah membuatmu menderita. Ditambah lagi Mama sakit. Dia baru saja keluar dari rumah sakit di Singapura. Aku hancur, Sya,” tandasku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Mamamu sakit? Sakit apa? Aku turut prihatin. Aku …." Entah mengapa Marsya berbicara dengan terbata-bata. Padahal aku ingin dia berkata sesuatu yang lebih dari itu.
"Sakit kanker otak dan selama setahun lebih Mama menjalani pengobatan. Kamu tahu, waktu itu, aku sempat pulang ke kontrakan, tetapi kamu sudah tidak ada,” suaraku terdengar mendesah. Sejenak aku memberi jeda, kemudian aku kembali melanjutkan. “Saat aku tahu kamu sudah meninggalkan kontrakan, aku menyusulmu, berharap kamu pergi tidak terlalu jauh. Ada hal penting yang ingin aku katakan. Sayangnya, di tengah perjalanan terjadi kecelakaan hingga membuatku hilang ingatan. Namun, beruntung itu justru menjadi titik balik dari perubahanku yang sekarang. Aku sempat tinggal di pondok pesantren di Malang. Lalu, ketika aku bisa mengingat masa laluku kembali, ternyata Mama sudah mewariskan harta yang sangat besar termasuk perusahaan Papa yang sempat bangkrut dan diambil alih orang lain. Pokoknya banyak hal yang berubah dalam hidupku."
Aku terus mengoceh menceritakan semua yang terjadi kepadaku setelah perpisahan kami. Aku berharap setelah mendengar kisahku, Marsya membuka hatinya lagi untukku. Tidak peduli dia mau menghinaku atau menganggapku apa. Yang penting dia mau memberiku kesempatan kedua untuk bisa kembali kepadanya dan memulai hidup yang baru.