I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #34

Dunia Tak Seluas Daun Kelor!

Setelah malam itu, aku pulang ke Blitar untuk menenangkan diri. Hatiku teriris perih. Mimpiku untuk bisa berkumpul kembali dengan Marsya musnah sudah. Harapanku melebur menjadi debu. Aku harus bagaimana sekarang?

Yang paling menyakitkan adalah calon suami Marsya tak lain dan tak bukan adalah Samuel. Bagaimana mungkin aku akan merenggut kebahagiaan dia? Tadinya aku mau berusaha untuk mendapatkan Marsya sebelum dia menjadi milik orang lain. Namun, aku mengurungkan niat setelah tahu kenyataan bahwa Samuel dan Marsya akan menikah.

Sampai di rumah, sejenak aku masuk ke kamar Mama, memastikan bahwa Mama baik-baik saja. Dia tertidur dengan damai. Kulihat di ujung, asisten Mama juga sudah terlelap di sofa. Selama Mama sakit, dia selalu setia mendampingi. Jasanya sangat besar. Aku berutang budi kepadanya.

Aku menghampiri Mama, lalu duduk di tepi ranjang. Ingin rasanya aku menumpahkan kesedihan di pangkuannya.

Beberapa bulan yang lalu, kepala Mama botak, efek dari radioterapi. Namun, sekarang rambutnya sudah mulai tumbuh.

Aku meraih jemari Mama, lalu mengusap punggung tangannya. Kutatap Mama lamat-lamat. Wajahnya mulai berseri tak seperti pertama yang kulihat di rumah sakit. Tirus dan tampak pucat. Tubuhnya pun kurus. Sekarang, berat badannya naik, terlihat dari kantung matanya yang dulu cekung kini terlihat normal.

“Maafkan aku, Ma. Sudah dua kali aku bertemu dengan Marsya, tetapi tetap tidak bisa membawanya ke hadapan Mama dan mungkin tidak akan pernah bisa. Dia akan segera menikah,” gumamku pelan.

Cairan bening itu tiba-tiba saja menetes. Hatiku terpukul karena tak bisa memenuhi janji kepada Mama. 

Cintaku harus terkikis oleh takdir bahwa aku tak bisa lagi merengkuh Marsya ke dalam pelukanku. Inikah rasanya kehilangan orang yang kita cintai? 

Cinta tidak hanya menawarkan kebahagiaan, tetapi juga rasa sakit. Seperti yang kurasakan saat ini.

Kusandarkan kepala di sisi tubuh Mama sembari memeluknya. Dengan begini, aku merasa nyaman. Ya, Mama selalu bisa membuatku merasa nyaman. Sangat nyaman malah.

Selang beberapa waktu, kurasakan pergerakan dari tubuh Mama. Aku terhenyak. Menegakkan badan. Cepat-cepat aku mengusap air mata sebelum Mama terjaga.

“Kamu di sini, Nak? Baru pulang?” tanyanya setelah terjaga.

“Iya, Ma. Mama tidur lagi, ya. Ari cuma ingin melihat keadaan Mama.”

“Tadi Mama bermimpi. Tiba-tiba kamu memeluk erat Mama sambil menangis. Ada apa, Nak? Apa kamu ada masalah, Nak?”

Aku menggeleng. Rasanya sangat sulit menjawab pertanyaan Mama. 

“Entah kenapa batin Mama mengatakan kamu sedang ada masalah.”

Ah, ternyata batin seorang ibu terhadap anaknya sangat kuat. Terbukti Mama bisa merasakan apa yang sedang menimpa anaknya, padahal hanya dalam mimpi. Memang benar aku sedang ada masalah. Masalah hati. Haruskah aku mengatakan kepada Mama?

“Aku bertemu Marsya di Surabaya. Dua kali .…“ ujarku terputus seolah kata-kata yang akan terucap di bibirku, tercekat di kerongkongan.

“Oh, ya? Sekarang dia di mana? Apa dia ikut kamu pulang ke rumah ini? Mama tak sabar ingin bertemu dengannya,” ujar Mama menggebu. Sepertinya Mama senang sekali aku bertemu Marsya. Tapi .…


Aku menundukkan kepala. Berusaha menutupi kesedihan. Mama pasti kecewa kalau tahu yang sebenarnya.

“Kenapa, Nak?” Alis Mama bertaut saat aku terdiam. Ekpresinya yang tadi ceria mendadak menjadi murung. Kecewa.

“Maafkan aku, Ma. Aku tidak bisa memenuhi janji kepada Mama. Marsya akan segera menikah,” lirihku. Tubuhku serasa ingin melorot saat mengatakan itu.


Tampaknya Mama cukup terkejut mendengarnya. Sesaat Mama terdiam.

“Maafkan aku, Ma. Maafkan Ari karena membuat Mama kecewa.” Aku tergugu sembari memeluk Mama.

Tiba-tiba kurasakan sentuhan lembut di kepalaku. 

“Mama yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu mencari Marsya dan membawanya di hadapan Mama.”

Aku mengangkat kepala menatap Mama. Dalam kondisi seperti ini, Mama masih bersikap tenang. Benar apa kata orang, seorang ibu selalu menjadi peneduh bagi anak-anaknya.

Mama kemudian mengusap air mataku. “Kamu jangan menangis. Laki-laki tidak boleh cengeng, harus kuat. Masa gara-gara cinta anak Mama jadi rapuh begini?”

Aku mengangguk. Hanya mengangguk. Siapa pun pasti akan sedih bila orang yang dicintai menikah dengan orang lain. Gampang untuk mengucapkan kita kuat, tetapi sulit untuk melakukan apalagi menyangkut urusan hati. Sekuat apa pun orang itu, dia juga akan merasakan yang namanya patah hati. Ah, cinta memang membuat seseorang menjadi lemah.

Kulirik jam dinding di kamar Mama menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

“Ma, bolehkah Ari tidur di sini menemani Mama?”

“Boleh, Nak. Mama jadi ingat waktu kamu masih kecil dimarahi Papa karena sudah merusak komputernya. Lalu, kamu menangis dan minta Mama menemani kamu tidur sampai beberapa hari."

“Ah, Mama.“ Wajahku tersipu malu, tetapi justru membuat Mama terkekeh.

Malam ini aku ingin melupakan semuanya. Melupakan kesedihanku. Benar apa kata Mama, laki-laki harus kuat, tidak boleh cengeng hanya karena cinta. 


***


"Halo, siapa?" tanyaku. 

Seseorang meneleponku dengan nomor yang tidak dikenal. Biasanya aku paling malas angkat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Namun, entah mengapa kali ini aku mengangkatnya.

Lihat selengkapnya