I Love You, Marsya

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #38

PERNIKAHAN SAMUEL

Aku memandangi foto Marsya. Foto kebersamaan kami saat masih menjadi suami-istri. Hari ini Marsya dan Samuel akan menikah. Beberapa jam lagi mereka akan sah menjadi suami-istri. Samuel memintaku hadir untuk menjadi saksi dalam proses ijab kabul. Dia memaksaku untuk hadir. Jika tidak, dia tidak akan pernah memaafkanku. 

Aku terjepit antara mengatakan ya atau tidak. Gampang untuk mengatakan “ya”, tetapi sulit untuk melakukannya. Bagaimana mungkin aku sanggup menjadi saksi dalam ijab kabul mantan istri yang masih aku cintai? 

Sesuai janji, aku datang, tetapi bukan untuk menjadi saksi. Aku datang untuk melihatnya dari kejauhan. 

Ya, hanya dari kejauhan. Yang penting aku menepati janji untuk datang. Aku tahu pasti Samuel mencariku di dalam. 

Pagi-pagi sekali Samuel sudah menghubungiku melalui telepon untuk memastikan bahwa aku benar-benar akan datang.

Saat terbangun dari tidur, aku tidak melihat Mama di kamarnya. Mama hanya meninggalkan pesan melalui surat yang diletakkan di atas tempat tidur. Isi suratnya singkat bahwa Mama akan menemui seseorang dan aku tidak perlu mengkhawatirkannya.

Aku tidak tahu siapa yang akan ditemui Mama. Rekan bisnisnya, mungkin. Yang jelas, dalam suratnya itu, Mama menyisipkan pesan yang cukup menohok.


Maafkan Mama. Kalau saja Mama tidak memaksamu mencari Marsya, tentu kamu tidak akan menderita. Mama akan mendukung keputusan kamu. Jika kalian berjodoh, pasti Tuhan akan menyatukan kalian berdua.


Sekitar pukul delapan pagi aku tiba di rumah Samuel. Aku memarkirkan mobil tidak jauh dari kediamannya. Ada janur kuning yang melengkung di pagar rumah. Tenda berwarna krem juga terpasang di halaman rumah yang cukup luas menandakan bahwa di rumah itu ada hajatan pernikahan. 

Dulu, aku pernah tinggal di rumah itu bersama Samuel. Tempat kami bercanda dan berkumpul bersama. 

Aku berusaha menguatkan hati, mengorbankan cintaku demi kebahagiaan Samuel. Demi kebaikan kita bersama, aku harus membuktikan kepada diri sendiri bahwa aku benar-benar ikhlas melepas Marsya untuknya. Semoga pengorbanan yang kulakukan ini tidaklah sia-sia.

Beberapa saat aku melihat sedan berwarna hitam melintas. Sepertinya, itu mempelai perempuan, Marsya. Bisa dilihat dari rangkaian bunga yang menghiasi bagian depan dan belakang mobil. Dan benar saja, Marsya keluar dari mobil bersama seorang pria dan wanita setengah baya yang memakai pakaian adat Jawa. Mungkin itu kedua orang tuanya. 

Aku senang, akhirnya Marsya bisa kembali kepada orang tuanya. Pernikahan ini tidak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga hubungan anak dengan orang tuanya.

Aku teringat saat pernikahanku dengan Marsya. Andai saja pernikahanku dulu dihadiri orang tua kami, pasti kami akan lebih bahagia lagi karena mendapatkan restu dari mereka. Aku menghela napas berat. Mataku tiba-tiba terasa pedas. 

Aku meraih novel di atas dasbor. Foto yang kupegang tadi kuselipkan di sela halaman buku, lalu aku keluar dari dalam mobil. Aku melihat ayah Marsya menggandeng anaknya memasuki rumah. Di sana, mereka sudah disambut pihak mempelai laki-laki. Namun anehnya, aku tidak melihat Samuel. Di mana dia?

Beberapa saat lagi ijab kabul akan segera dilaksanakan. Entah mengapa, hatiku mendadak sakit. Dadaku terasa sesak. Apakah aku tidak rela Marsya menikah dengan Samuel? Ya Allah, cinta ini telah menyiksaku. Setetes air mata tiba-tiba membasahi pipi.

Tak lama kemudian, gawaiku berdering. Aku lihat di layar ponsel tertera nama Pak Hermansyah. Aku menghapus air mata, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Halo. Selamat pagi, Pak Hermansyah."

"Selamat pagi. Pak Ari Sandiago posisi di mana?"

"Di rumah teman. Kemarin saya kan sudah cerita kepada Bapak kalau pagi ini teman saya melangsungkan akad nikah. Bapak mau dijemput sekarang?" 

"Tidak perlu, Pak Ari. Saya sudah ada di bandara sekarang."

"Bandara? Memang pesawatnya take off pukul berapa, Pak?"

"Pukul sebelas lebih sepuluh menit." 

Aku lalu memperhatikan jam tangan. Sudah pukul sembilan kurang lima menit. Aku harus bersiap-siap ke bandara. "Ya sudah, Pak, saya langsung ke bandara." Tanpa menunggu jawaban Pak Hermansyah, telepon langsung kumatikan. Aku hendak masuk ke mobil, tetapi teriakan seseorang mengagetkanku.

"Ari, tunggu!" Samuel berteriak. Lalu dia berlari ke arahku.

Apa yang harus aku lakukan? Dengan memakai setelan jas dan kopiah di kepala, Samuel menghampiriku hingga aku tak sanggup melarikan diri. Aku mendengus pasrah. Novel yang kupegang tadi langsung aku sembunyikan di belakang punggung ketika Samuel berdiri di hadapanku.

"Kenapa kamu masih ada di sini? Ayo masuk. Semua sudah menunggumu," ujar Samuel dengan napas terengah-engah.

"Menungguku? Justru mereka yang menunggumu. Kamu pengantinnya, kenapa di luar? Sekarang masuklah," pintaku.

"Kamu mau ke mana?" tanya Samuel dengan nada tinggi.

"Aku harus pergi ke bandara. Aku buru-buru. Pak Hermansyah menungguku di sana."

"Kamu tidak boleh pergi. Kamu sudah berjanji kepadaku untuk datang."

"Aku sudah datang. Sekarang biarkan aku pergi," ujarku memotong.

"Tidak bisa begitu, dong. Kamu harus masuk dulu. Setelah itu, kamu boleh pergi," dengus Samuel memaksa. 

Lihat selengkapnya