Dear kehidupan di luar sana, ini cerita untukmu, yang begitu ingin tahu bagaimana cinta berjalan dan kapan ia lelah. Kapan ia hidup dan kapan ia mati. Kapan ia mendidih dan kapan ia basi.
Bacalah sampai selesai maka kau akan mengerti, sebab pengertian akan menghindarkanmu menjadi hakim dan jaksa atas apa yang tidak kau derita.
Cinta adalah sebuah anugerah, seperti halnya mata, tangan, dan kaki. Ia ada sebagai satu dari sekian ribu unsur pelengkap diri manusia, entah di mana. Di dalam tubuh, jiwa, atau roh. Di dalam hati, jantung, atau darah.
Cinta adalah sebuah rasa. Gembira atau sedih, senang atau susah, bahagia atau sakit, tertawa atau merana. Ialah yang bertanggung jawab atas semua itu.
Cinta itu seperti kapal yang bisa berlabuh di mana pun, kapan pun, berapa lama pun. Cepat atau lambat, ia akan pergi mencari pelabuhan baru. Yang bisa kau lakukan hanyalah menahan sauhnya agar terus tertancap di dasar lautan. Bila tak kuat, lepaskan.
Cinta itu seperti musafir yang mencari mata air, lalu meneruskan perjalanan tanpa mengingat ia pernah kehausan. Yang bisa kau lakukan hanyalah membuatnya terus dahaga agar ia kembali dan kembali lagi. Bila lelah, berhentilah.
Cinta itu bergerak. Ia mengalir ke tempat yang dalam untuk memenuhinya sampai ke permukaan. Ia berembus ke tempat yang kering untuk memberikan kesejukan sampai di kerongkongan. Kalau sudah datang sulit ditahan, kalau sudah pergi sulit dicari.
Mempertahankan cinta sama seperti tukang sate mengipasi bara api agar tetap menyala. Jangan sampai redup lalu mati, jangan sampai berkobar lalu menghanguskan. Begitu terus sampai satenya matang.
Kalau sudah matang, bara harus tetap menyala untuk membakar rombongan sate berikutnya. Hari ini selesai, besok menyala lagi untuk membakar sate-sate yang baru. Begitu seterusnya kalau masih mau berjualan. Namun, satu kali tukang sate juga akan menggantung kipasnya.
Dan aku adalah tukang sate yang menggantung kipasnya. Salahkah?
Jangan pernah menyamakan situasimu dengan situasiku atau dia, karena Tuhan punya racikan unik berbalut kalut untuk menemani hari-hari manusia, namanya "masalah". Dan tiap-tiap orang menerima racikan berbeda. Tidak pernah identik.
Namun, ada kalanya penonton lebih mahir daripada pemain, hingga mereka tak canggung mengajukan dirinya sebagai sutradara atau pengarah gaya, lalu memaksakan sebuah episode yang belum tentu cocok untuk kita mainkan. Hebat, bukan?