Solo, dua puluh sembilan Desember 2008. Liburan akhir tahun yang lebih tepat kusebut pelarian. Aku masih berduka atas kepergian Papa dua bulan lalu. Satu-satunya orang yang menghargaiku sebagai manusia berpotensi, bukan orang cacat semata.
Masih akan sesak dadaku bila ingat tak ada lagi Papa, sebab dalam separah apa pun sakitnya, sepayah apa pun keadaannya, beliau ada dan tetap bisa mengarahkanku ke jalan yang tepat. Tak seperti sekarang, aku limbung. Papa telah pergi menuju keabadian akibat diabetes jahat itu.
Luka karena kehilangan Papa mungkin akan sembuh, tapi luka lain seakan tak mau menunggu hingga aku kuat dulu. Luka yang akan ada, yang sudah lama ada, dan yang akan mencapai puncaknya tahun depan.
Aku masih menumpahkan kerinduanku pada ranjang di sisi kanan ruang tamu ketika suara berat itu menarikku kembali ke alam sadar. Siapa gerangan yang sedang berbincang hangat dengan Mama?
Kusilangkan tangan kiri menutupi mata untuk bisa mengintip ke arah kanan. Ada lelaki tinggi besar duduk santai di kursi yang jika kududuki, kakiku menggelantung. Sampai di sini aku masih hanya ingin tahu siapa lelaki berpenampilan nyentrik itu. Lalu sensasi kesemutan mulai menggerayangi tangan. Kode untuk beranjak dari ranjang.
"Lho, sudah bangun, Wuk?"
Ia memanggilku "wuk", sama seperti bulik Karsih memanggilku. Tahu tidak? Panggilan itu biasanya berlaku untuk anak perempuan kesayangan. Oh, iya, mungkin kalian tak paham bagaimana mengucapkannya. Jadi, tak seperti kata "garuk, masuk, atau gebuk", tapi mirip seperti orang bilang "nduk", begitu.
Kubalas sapaannya dengan cengiran canggung. Tidur di tilam kesayangan mendiang Eyang putri memang paling nyaman. Bisa mengobrol sambil bersantai karena letaknya persis di sebelah susunan kursi. Bisa malu juga kalau ketiduran sampai siang begini.
"Iki ragile (ini bungsunya) bude Surti," Mama mengisyaratkan agar aku bangun dan menyalaminya. Baiklah.
Aku mendekat. Ia berdiri, mengulurkan tangan, dan memperkenalkan namanya. Aku tak fokus ke situ karena harus menengadah untuk bisa mencapai wajahnya. Darahku sedikit berdesir ketika kedua tangan dan mata kami bertemu. Ia terlihat garang, tapi sorot matanya teduh dan mengayomi. Ada perasaan tenang berada di dekatnya.
"Anto."
"Nadya."
Cepat-cepat kucabut tanganku sebelum berkeringat lebih banyak. Telapak tangan ini memang sering basah tanpa disuruh.
"Ma, panggilnya om apa mas?" tanyaku pada Mama, menutupi grogi.
"Panggil pakde ya mau," jawabnya dengan mimik wajah dan gaya bicara seperti kepada anak balita. Haha, aku jadi ingin mengoceh "ca ca ca".
"Yo mas, no, wong adike mas Seto karo mbak Yul, kok (ya mas, dong, orang adiknya mas Seto sama mbak Yul, kok)," sahut Mama dengan nada riang. Jarang beliau bersikap begitu.
"Pasti ndak (nggak) kenal sama aku," sela mas Anto. Gaya bicaranya persis seperti tadi, persis seperti Papa. Ah. Mungkin hanya perasaanku saja.
Aku menggeleng sok manja sambil memperlihatkan cengiran termanisku.
"Yo Iyo. Wong mas Anto ini sekolahnya di Salatiga, terus hidupnya di laut ket enom (sejak muda). Mama Yo baru ini ketemu lagi," sahut Mama sambil mengunyah kacang rebus setengah matang kesukaannya---yang aku tak sukai, sebab aku suka kacang lembek.
"Halah, saiki yo jik enom, to (sekarang juga masih muda, kan), Mbak, hahaha."
"Hahaha, enom terus pokoke (muda terus pokoknya)."
Mas Anto menyebut ibuku "mbak". Kira-kira, berapa, ya, usia laki-laki itu? Berapapun, aku harus cepat pergi sebelum pikiranku semakin liar dan aku semakin canggung berada di antara mereka.
"Hehe. Ehm. Eyang mana, Ma?"
"Itu di teras. Sana, salim sik (dulu)."
"Oh. Iya."