I Love You, Mas Duda

Dina Ivandrea
Chapter #3

Yang Tertinggal di Solo

Tiga puluh satu Desember 2008. Malam pergantian tahun baru, malam terakhirku di sini. Semua berjalan seperti yang kudambakan. Mas Anto mengajak Mama dan seisi rumah---kecuali Eyang untuk makan di warung lesehan "Bebek Gobar".

"Pintunya di sebelah kiri, Buu," katanya ketika aku bersandar di pagar rumah orang demi mencuri pandang.

Ia yang sudah siap di bangku sopir sambil bercanda dengan Mama dan orang-orang seangkatannya ternyata memerhatikan keberadaanku. Itulah tanda pertama yang membuatku semakin melambung dalam pengharapan.

***

Malam ini warung tenda sepanjang belasan meter sudah di-booking oleh mas Anto. Aku berdecak kagum. Memang ia persis seperti yang diceritakan oleh Heri, baik dan tidak pelit. Sekitar dua puluh dua orang termasuk anak-anak ditraktir olehnya tanpa banyak pertimbangan.

"Her, dudukin aku di sini," kataku, mengambil tempat di meja paling pojok.

"Oh, kene, kene (sini, sini)."

Heri sudah paham maksudku. Orang satu kampung pun mungkin sudah tahu bahwa aku sudah tidak bisa lagi menekuk kedua lutut dengan sempurna. Bahkan beritanya---entah dari mana---beredar bahwa aku sudah tak bisa berjalan. Padahal masih bisa, hanya sudah tidak sempurna.

Heri memasukkan kedua lengannya ke bawah ketiakku. Aku memberatkan diri hingga bokong ini menyentuh lantai beralaskan karpet.

"Makasih."

"Iyo, mbakyuku sayang."

Saat ini faktor rheumatoid-ku sudah begitu tinggi. Kedua lutut dan sikuku hanya bisa membentuk sudut yang lebih besar dari sembilan puluh derajat. Intinya hampir semua persendianku sudah mengalami perubahan bentuk. Jika yang kiri rusak, maka yang kanan juga rusak. Itulah ciri khas autoimun jenis ini.

Beberapa menit kemudian semua orang sibuk mengeksekusi pesanannya. Suasana yang begitu menyenangkan, apalagi mendengar mas Anto tertawa. Indah sekali. Renyah tanpa gelegar berlebih. Kalau ia bicara, semua terdiam. Kalau ia berkelakar, semua tertawa. Sungguh ia orang yang berwibawa.

"Nambah, Wuk," katanya di sela obrolan hangat dengan Mama dan teman-teman masa kecilnya.

Mulutku masih penuh, jadi aku hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. Bukan itu sebenarnya. Aku deg-degan. Puas sekali memandanginya dengan jarak dua meter saja, sambil berkhayal tentunya. Oh iya, bebek bakarnya enak dan tidak alot.

Sebentar. Anak laki-laki seumuran Susan yang duduk dekat bulik Karsih itu siapa, ya? Mataku terlalu sibuk memandang ke depan hingga tak sadar akan keberadaannya.

"Iku anake (itu anaknya) mas Anto," bisik Susan ketika kutanyakan hal itu padanya.

"Ooo ... Ya ... Ya."

Anak itu manis dan murah senyum. Entah kenapa aku jadi ingin memeluknya. Perhatianku kini terbagi dua, ke sebelah kiri dan di hadapanku. Yang paling mengganggu acara makan tengah malam itu adalah detak jantungku yang berlebihan.

"Lha ibunya kok nggak ikut?" Akhirnya aku menemukan kalimat interogatif yang tidak mencolok.

"Wee, lha, ibunya itu minggaat."

Susan bicara setengah suara dengan penekanan penuh. Matanya melotot tajam. Bibirnya hampir tak terbuka. Untung saja aku tak tersedak mendengar penjelasan si Kronil yang terus membisiki telinga kananku. Bukan main girangnya hati ini. Seakan aku dihantam oleh kekuatan cinta. Melayang. Terbuai. Membuatku ingin tersenyum selalu.

Lihat selengkapnya