I Love You, Mas Duda

Dina Ivandrea
Chapter #4

Sikap Mama Menciutkan Nyaliku

Awal Januari 2009. Satu minggu sudah mas Anto tidak memberi kabar, padahal ia sempat bertanya apakah kami sudah sampai di rumah. Memang aku baru sampai. Kukira semua akan berjalan sesuai khayalanku. Nyatanya hanya satu hari itu saja kami berbalas pesan.

Liburan akhir tahun telah berlalu dengan menyisakan kenangan manis. Manis, tapi menusuk hati. Ternyata mas Anto sudah melupakanku. Ternyata aku tak cukup menarik di matanya. Mungkin ia hanya kasihan padaku. Aku memang lebih pantas dikasihani ketimbang dicintai.

Sekarang sudah tanggal delapan. Aku sudah kembali bekerja. Toko bangunan milik teman Papa sudah setahun ini jadi tempatku melupakan rasa sakit di setiap persendian, walau tiap kali hendak bangun atau duduk selalu kepayahan, setidaknya aku masih berguna.

Ketika harapan sudah pupus tapi perasaan masih terus bersemayam, yang bisa kulakukan hanyalah membuka dan membaca kembali pesan-pesan darinya. Ada lima balasan dengan bahasa yang biasa saja, tapi begitu berharga bagiku.

Hati ini bertanya, mungkinkah ia kecewa ketika aku menyudahi balasanku dengan alasan mau tidur? Sungguh aku menyesal. Seharusnya kuladeni saja hingga pulsaku habis. Kini pesan-pesan ini kuproteksi agar tak hilang dan bisa kubuka tiap kali aku rindu.

Aku sedang mengamati caranya menulis kata "mau" yang pada umumnya disingkat jadi "mw" dan ia menulisnya jadi "maw". Bagiku itu lucu dan unik. Tiba-tiba gawaiku bergetar, tanda pesan masuk. Pesan yang membuat jantungku melonjak dari tempatnya.

[Wuk, lagi apa?]

Jiwa angkuhku sontak muncul. Andai ia di sini, pasti sudah kupukuli dadanya dan kubilang "jahat". Sengaja kubiarkan ia menunggu lama dengan merekap surat jalan, padahal hati ini sibuk sekali memilah-milah balasan yang akan kuberikan.

Gawaiku bergetar lagi.

[Wuk, mkn siang di xmantan maw?]

Kali ini senyumku tak tertahankan lagi. Dasar beruang coklat menyebalkan. Sebentar, kupikirkan balasan tertepat agar tak terkesan aku mengharap di-sms olehmu.

[Mw aj. Naik getek ya?]

[Naik pesawat. Kalo maw tak kasih tiketna]

[Dih males. Ky dari rumah ke gobar aj]

[Lho ndak, mkn siang aja nti balik lagi]

[Haha, ogaahh]

Bahagia dan sebal jadi satu. Ke mana saja kau, Mas? Seenaknya saja membiarkanku lalu menghubungi lagi seolah tak ada masalah. Hmm ... Itu hanya isi hatiku saja. Memangnya si mas siapanya aku, haha.

***

Sudah tiga atau empat hari ini namanya selalu memenuhi daftar panggil dan kotak masukku. Sebisa mungkin kubalas dengan wajar, sebab aku gengsi jika ketahuan menyukainya. Memang aku bahagia. Hari-hariku serasa lengkap sudah.

Mungkin kau tak percaya jika kukatakan bahwa aku sudah lima atau enam tahun menjomblo. Tapi itu kenyataan. Usiaku di tahun 2009 sudah dua puluh sembilan, dan aku terakhir berpacaran serius sekitar usia dua puluh tiga, seumur Nindy tahun ini.

Bukan tak ada cinta yang datang. Hidupku dikelilingi kumbang jantan. Hanya, tak satupun kuyakini dapat menerima keadaanku sepenuhnya. Hanya kepada mas Anto aku benar-benar menaruh harapan.

Mama mungkin membaca gelagatku dan membicarakannya dengan saudara di Solo. Sampai pagi ini, beliau memanggilku. Aku baru saja selesai berpakaian, hendak berangkat bekerja.

"Nad, sini sebentar."

"Kenapa, Ma?"

"Emang Anto sering telepon kamu?"

"Yaa, kadang-kadang," padahal satu hari bisa tiga kali.

Lihat selengkapnya