Aku merasa kejadian kemarin sudah membentuk jurang tersendiri antara aku dan mas Anto. Semua terasa dari awal lagi. Mas Anto tak menghubungiku seharian ini. Tanganku gatal ingin memencet nomornya. Perasaan campur aduk masih bersarang di kepalaku. Apa mungkin ia sekarang lebih memilih Mama?
Mama memang masih tampak muda dan menggairahkan di usianya yang tepat setengah abad. Kulitnya putih, badannya semok. Apalagi Mama sering mencat rambut pendeknya menjadi coklat atau kemerahan.
Entah kenapa, melihat beliau aku jadi risau. Apalagi kalau gawainya berbunyi. Aku rindu mas Anto. Aku merasa bersalah karena berubah sikap tanpa mencari tahu terlebih dahulu. Memang aku ceroboh, dan kecerobohan ini kuakui kerap terulang karena keegoisanku.
Sehabis Magrib aku membuka flip gawaiku dan tampak di sana dua kali missed calls. Ternyata masih mode getar. Mode yang kupakai di jam kerja. Bodohnya, aku lupa mengubahnya menjadi mode suara. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku segera memberi kabar.
[Y mas. Knp]
Yes! Ia menelepon! Mau terbang rasanya. Dag dig dug di jantung ini lebih besar dari saat pertama bertemu. Kalau ia menyatakan perasaannya, aku pasti akan langsung bilang "iya".
"Wuk, jalan-jalan ke Kalimantan, Wuk. Mau ndak?" tanyanya di tengah obrolan kami.
"Jauh amat, Mas," sahutku riang, masih bersandar di sisi mesin jahit.
"Ndak mau, ya. Yaa, yang ngajak udah punya anak dua, hehe," omongannya sudah mulai menjurus.
"Lah, kenapa emangnya. Biasa aja, kok," kuberikan lampu hijau tanda tak ada masalah.
"Kalo aku ke rumah, boleh, ndak?"
"Hah? Ke rumah? Nggak mungkinlah. Mau tidur di mana?"
"Ya nginep."
"Hmh, tambah nggak mungkin, Mas."
Kalau si mas datang dan menginap, pasti akan ketahuan perasaanku padanya, sedangkan aku gengsi kalau seisi rumah ini tahu. Takut mereka tak setuju. Kupikir akan lebih baik kalau ia bicara langsung pada Mama.
"Kata siapa ndak mungkin, Wuk?"
"Lah, emangnya udah bilang Mama?"