Sebelas April 2009, rumah sudah dipasangi tenda. Keluarga Jojo sudah tiba di rumah yang akan ditempati Jojo dan Nindy, tepat di seberang rumah Mama. Om Koko sekeluarga pun sudah datang sejak kemarin. Mas Anto yang membiayai perjalanan mereka.
Om Herlan, adik Papa, besok akan menjadi wali nikah Nindy. Selain itu aku tak begitu peduli dengan apa yang akan terjadi, sebab mengurung diri di kamar adalah pilihan terbaik untuk menghindari mulut nyinyir yang dengan entengnya meledekku, "kok malah duluan adiknya?"
Tetangga tahu apa? Muak membahas mereka. Memang betul, tak semua begitu. Masih banyak yang memandang iba dan mengusap pundakku sambil berkata, "sabar, ya. Biar dekat jodohmu nanti."
Cih! Aku tak mau dikasihani! Mereka telah membuatku malu, seolah-olah aku ini barang dagangan yang tak laku-laku. Sayangnya mereka terus di sini, jadi koki dadakan, meminta makanan, mengambilkannya untuk keluarga, juga membawa pulang sebagian bahan masakan tanpa seizin Mama.
"Minta tolong kakaknya dipanggil dulu," pak RT setengah berteriak.
Aku melangkah malas melewati kaki-kaki selonjoran bak teri berjejer di rumah tipe tiga enam ini. Jam dinding bentuk gitar kayu menunjukkan pukul delapan. Sampai juga aku di depan pintu.
"Dhika mana? tanya Mama.
"Lah, nggak tau."
Ternyata ada rapat saudara dan tetangga di teras rumah. Semua berpakaian rapi, dan aku lagi-lagi dilewati. Jangan salahkan kalau hanya daster selutut ini yang jadi penutup tubuhku. Terserah. Aku hanya menantikan kedatangannya. Ia yang menganggap aku manusia, bukan bayangan.
Nindy dan Jojo berdiri dari tempatnya dan menghampiriku. Di tangan mereka ada dua benda terbungkus kertas kado. Oh, "pelangkah". Tapi, apa tak sebaiknya bertanya dulu apa mauku? Entahlah.
"Mbak, minta izinmu buat nikah duluan," Nindy terisak memelukku, tangannya menyodorkan benda pertama.
"Iya, nggak apa-apa. Nggak usah nangislah, kayak diapain aja."
Mendadak hatiku luluh. Kubalas pelukannya. Jahat juga mengabaikannya saat meminta pendapat, bertanya bagaimana baiknya, memintaku memilihkan desain, dan lain-lain. Aku terlalu sibuk mengasihani diri sendiri.
Jojo juga memberikan benda di tangannya, menyalamiku, dan meminta izin untuk menikah. Melihat mereka berdua menghargaiku sedemikian rupa, aku jadi ikhlas "dilangkahi".
***
Kalung, gelang, anting-anting, juga sepatu. Cukup menghibur bagiku. Sebenarnya sejak tadi hati ini dag dig dug. Mas Anto sudah dalam perjalanan dari bandara menuju ke sini. Apa yang akan terjadi nanti? Mampukah aku menyembunyikan sinyal bahwa kami sedang saling suka?
Seingatku, obrolan di rumah Eyang selalu dipenuhi dengan bahasan tentang rumah seberang. Sejak Eyang putri masih ada, sejak aku masih kanak-kanak, sejak pakde Broto, ayah Mas Anto juga masih ada. Berarti, permusuhan antara keluarga besar kami sudah berlangsung begitu lama, entah apa sebabnya.
[Wuk ak dah turun taksi ya]
Pesan mas Anto membuatku panik. Aku harus bagaimana? Tak mungkin aku menyambutnya dengan mencium tangan dan ia mencium keningku. Jujur aku takut. Pakde Kris pasti akan marah besar padaku. Om Koko pasti akan koar-koar tak karuan.
Ia pun tiba. Mama menyambut gembira. Yang lain justru heran mengapa ia mau datang. "Sudah jadwal pulang, katanya. Mama mengajaknya masuk. Aku sengaja duduk di depan televisi, di samping meja makan, agar bisa memperlihatkan diri.
Ia meletakkan kopernya di ruang tamu yang sudah digelari permadani, lalu masuk dan menyalamiku. Tangannya menggenggam erat jemariku. Matanya melebar. Aku tersenyum canggung.