I Love You, Mas Duda

Dina Ivandrea
Chapter #7

Ramalan Susan

Pukul sembilan malam. Resepsi sudah usai. Tamu yang masih berdatangan dilayani dengan suasana santai. Aku masuk ke dalam dan memergoki mas Anto sedang berhadapan dengan Mama. Begitu mereka melihatku, mereka seperti saling memberi kode. Aku jelas curiga. Mas Anto lantas menghampiriku.

"Wuk, kamu suka ndak?" tanyanya seraya menunjukkan sesuatu, indah sekali.

"Mas? Kamu ... Nggak salah ini?"

Aku terpana. Sebuah kotak merah beludru. Di dalamnya terdapat dua cincin emas. Ia mengambilnya satu dan menyematkannya di jari manisku. Agak kebesaran, tapi tak masalah. Aku belum pernah melihat bentuk seindah itu.

Kulepaskan lagi dari jariku dan kuamati bentuknya. Belah bambu dengan permata tanam yang kilaunya memancar ke segala arah. Ada ukiran di bagian atas. Benar-benar karya seni yang memukau. Ada inisial namaku di cincin yang lebih besar. "NW", untuk Nadya Wijaya. Sedangkan cincinku bertuliskan "AD", maksudnya Arya Dewanto.

"Apa artinya ini, Mas?" tanyaku, sebab kami belum resmi berhubungan.

"Artinya kamu buat aku," katanya pelan sambil menunjuk dada.

Senyumku mengembang. Rupanya ia bilang Mama dulu sebelum melakukan ini. Mas Anto sungguh sangat berbeda dengan kebanyakan orang. Semua ia rencanakan dengan matang. Mungkin karena usianya yang sepuluh tahun lebih tua dariku. Entahlah, aku belum pernah berpacaran dengan lelaki setua mas Anto.

"Ini kamu simpan dulu, Wuk. Buat nanti."

"Oh, kirain dipakai sekarang," jawabku, murung.

"Ndak. Ini untuk hari H nanti. Aku lagi bikin yang untuk kita pakai satu-satu."

Aku mengangkat alis tanda tak percaya. Gila. Untuk penanda jadian saja sudah pakai cincin pernikahan. Dan untuk menjalani hubungan akan ada cincin lagi? Malaikat apa yang sedang berhadapan denganku saat ini?

Ada bude Ninik. Belum siap rasanya memproklamirkan hubungan kami. Aku menyudahi obrolan dan masuk ke kamar. Ia keluar rumah untuk membantu bersih-bersih sisa resepsi.

***

Sehari setelah pernikahan Nindy. Kami masih seperti orang mabuk. Mata dan kepala berat, badan melayang. Semua orang sedang lelah selesai resepsi semalam.

Aku bangun, namun kembali tertidur di sofa dengan kedua kaki menggantung. Tiba-tiba mas Anto datang memberikan kursi untuk menyangga kakiku.

"Eh, mas. Kenapa?" tanyaku, terusik.

"Ini lho, kasihan kakinya nggantung. Dah. Bobo lagi, Sayang."

"Nggak mau, ah. Kan ada kamu," kataku bahagia.

Mas Anto menatapku penuh kasih sayang. Sekali belaian tangannya mendarat di pipiku, seribu kali aku merasa terguyur cinta. Namun semua masih ditutupi di depan orang lain, karena aku belum siap.

"E, e, eee ... Malah pacaran to kamu," Susan datang menggoda.

"Apa kamu, anak kecil," sahutku sambil menepuk bibir tipisnya.

Susan mengganggu kebersamaan kami, tapi itu bagus, jadi tak semata aku dan mas Anto berduaan. Sementara Mas Anto sibuk dengan gawainya, Susan mulai mengoceh.

"Mbak, aku ki iso ngeramal, lho (aku ini bisa meramal, lho)," katanya sambil mengunyah rengginang.

Lihat selengkapnya