Hari-hariku selanjutnya adalah hari yang penuh dengan cinta. Ada sejuta kebahagiaan di tiap harinya, mulai bangun tidur sampai mataku kembali terpejam.
Selalu ada siraman perhatian dan kasih sayang yang tidak sama dengan lelaki kebanyakan. Mas Anto selalu ada tiap kali aku butuhkan. Tak pernah tak bisa, tiap kali aku menelepon ia selalu meluangkan waktu, bahkan saat sedang rapat.
Kalau ada yang namanya kekasih all in one, mas Antolah orangnya. Ia adalah pacar yang bisa jadi ayah kalau aku sedang butuh sosok Papa. Ialah yang menjadi tempatku mengadukan setiap masalah yang baginya adalah hal sepele semisal aku bertengkar dengan Dhika.
Mas Anto selalu menyediakan telinga untuk mendengar tanpa sedikitpun menyela uraianku. Setelah aku puas melampiaskan rasa, barulah ia masuk dan memberi solusi yang bagiku cukup adil.
Kalau Dhika yang salah, mas Anto mampu membuatnya berubah. Kalau aku yang salah---seperti biasa aku tak mau mengakuinya---mas Anto akan masuk melalui candaan hingga aku malu sendiri dan mengakuinya, tapi dalam hati. Yang jelas aku mau berubah.
Ia bisa jadi kakak yang membimbing kami mengambil keputusan yang tepat. Ia bisa membawa kami ke arah yang lebih baik tanpa kesan menggurui. Dhika jadi sangat bergantung padanya. Apa-apa selalu tanya, dan mas Anto selalu punya solusi. Ia adalah orang yang serba bisa.
Mas Anto juga kekasih yang selalu setia menemani berbelanja. Tak seperti kebanyakan lelaki yang cepat bosan dan tidak sabaran, ia justru betah mengikutiku ke tiap sudut sempit untuk memilih sesuatu, dari sini ke situ, ke sini lagi dan akhirnya tidak jadi. Ia bahkan mau memilihkan yang terbaik untukku tanpa peduli berapapun harganya.
Pernah satu kali kami pergi ke department store berlogo "R" dan mataku tertuju pada sebuah dress berbahan spandex berwarna pink fanta salur merah hati. Harganya terlalu mahal bagiku. Akhirnya aku hanya memegangi sambil membayangkan memakainya, setelah itu kutinggalkan.
"Mau, Wuk?" katanya dari belakang.
"Nggak, Mas. Terlalu mahal untuk baju santai."
Sudah. Setelah itu ia menyuruhku melihat-lihat underwear. Aku curiga. Kuintip dari kejauhan, rupanya ia mengambil dress itu dan membawanya ke kasir. Kebetulan antriannya panjang hingga aku ingin menggodanya. Kudekati ia. Kulihat ia kebingungan menyembunyikan benda dalam kantong plastik itu.
"Sana dulu, Wuk," katanya dengan wajah tegang.
"Kamu beli apa, Mas?"
"Ini, cuma kaos harian," katanya sambil berusaha menyamarkan motif salurnya dengan lipatan-lipatan plastik.
Aku pura-pura percaya, lalu kutinggalkan lagi ia yang baru sampai di antrian ketiga.
"Wuk, ini untuk kamu," tiba-tiba tangannya ada di depan dadaku dengan plastik terkunci oleh staples.
Aku pura-pura terkejut dan membuka isinya.
"Aah, Mas. Kok kamu gitu. Mana belanjaanmu?"
"Ndak ada, wong aku sebenarnya bayar ini tok (saja) kok," jawabnya semringah.
Aku terus mengembangkan senyum sambil mencubiti lengannya dan tak henti berterima kasih. Ia tampak senang dan bangga. Ah, Mas. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuatmu senang.
Mas Anto juga tak canggung membelikanku pakaian dalam dengan merk ternama dan anti-bakteri. Aku baru tahu ada pakaian dalam seperti itu. Yang namanya g-string pun aku punya walau tak mungkin terpakai. Pokoknya pakaian segala model hingga tas dan sepatu aku punya. Alat makeup lengkap dengan merk ternama yang semula hanya khayalan akhirnya kumiliki juga.
Untuk semua itu aku tak pernah minta. Malah aku kerap kali bilang padanya untuk tidak menghamburkan uang.
"Justru sama kamu aku bisa cari uang yang genah (benar), Wuk. Biasanya dapat cuma kuhabiskan sama anak-anak, toh besok bisa kucari lagi. Sekarang aku bisa nabung," itu jawabnya.