I Love You, Mas Duda

Dina Ivandrea
Chapter #9

Bagian yang Tak Ingin Kuceritakan

Tadinya aku bersikukuh untuk tidak menceritakan bagian ini, sebab aku enggan dicemooh lebih dalam lagi. Aku malas dikasihani. Aku benci dianggap tak berdaya. Tapi nanti kalian tidak akan tahu bagaimana pengorbanan dan kesetiaan Mas Anto padaku.

Kalian tahu keadaanku? Aku tak bisa duduk di lantai, tak bisa menekuk kaki dengan sempurna, tak bisa berlari, tak bisa jongkok. Aku sudah membiasakan diri tersakiti dengan pertanyaan bodoh, "mbak, kakinya kenapa?" 

"Nggak apa-apa," jawabku. 

"Nggak apa-apa kok jalannya begitu?" 

Cara beralanku memang begini, karena kakiku sudah tidak sempurna. Aku ingin bilang begitu, tapi mereka akan dan sudah mengajariku dengan berbagai macam obat mulai dari yang tradisional, herbal, hingga modern, yang logis hingga mistis, yang wajar hingga nyeleneh. Sok tahu.

Tak sedikit orang yang mengajakku berobat ke dukun, bahkan Nancy, salah satu sahabatku, pernah membohongiku sewaktu kami masih di kantor lama.

"Nad, ikut yuk, gue mau pergi sama Eko," katanya.

"Eko gudang? Ke mana?"

"Iya dia. Ya ikut aja."

Pergilah kami bertiga naik mobil pickup. Ternyata mereka membawaku ke orang pintar. Sudah kuduga, orang itu bilang aku dikerjai. Ia mengepret wajahku dengan air dan memberiku beberapa lembar daun pepaya untuk ditumbuk, disaring, dan diminum airnya.

Sembuhkah aku? Tidak. Eko dan Nancy takut aku marah, padahal aku geli dengan tindakan mereka. Aku tahu mereka ingin aku sembuh, tapi penyakitku ini rheumatoid arthritis, sejenis autoimun yang tak mungkin kujelaskan pada mereka yang tahunya hanya rematik, asam urat, dan ketempelan setan atau dikerjai orang.

Banyak yang mengait-ngaitkan penyakitku dengan belum menikahnya aku. Ada yang sakit hati, katanya. Asal mereka tahu, yang sakit hati karena kutolak itu banyak.

Sakit sekali menghadapi penyakitku, tapi jauh lebih sakit penghakiman dari mereka yang sama sekali tak punya pengertian dan etika. Percuma, tak dapat solusi, hanya emosi. Ujung-ujungnya cuma dikasihani.

"Kasihan, ya, cantik-cantik kok jalannya begitu."

"Kasihan, ya, sudah sakit dilangkahi pula."

"Kasihan benar nasibmu, Nad."

Kasihan, kasihan, kasihan! Kenapa aku harus dikasihani? Anggaplah aku ini kaum difabel. Apa harus aku diamati dari ujung kepala hingga kaki? Apa perlu mereka menatapku iba? Apa menyenangkan bila aku ditanya dan dipaksa mengiyakan apa yang mereka yakini? Tidak, bukan?

Aku tertekan dan hampir depresi atas sikap semua orang yang terlalu ingin tahu ada apa denganku, bukan karena simpati, apalagi empati. Hanya penasaran.

Bagaimana menjelaskan bahwa penyakit ini tidak bisa sembuh, sama seperti asma yang juga kuderita. Kalau kambuh, aku harus menjalani pengobatan, lama, panjang, mahal. Mereka tahu apa?

Lihat selengkapnya