Pagi itu, jam delapan, mas Anto sudah selesai berpakaian, hendak berangkat lagi ke Kalimantan, sebab ia hanya mengambil cuti dua hari. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi uduk dan segelas besar teh manis.
"Suapin, Wuk," katanya manja.
"Nggak ah. Malu. Ada Mama," sahutku.
Mas Anto terkekeh. Katanya, "yo wis, aku yang nyuapin. Tapi kalo makannya pakai tangan kamu lho yang nyuapin."
Aku mengangguk setuju. Sejak saat itulah ada perjanjian tak tertulis di antara kami, bahwa di manapun kalau makannya pakai tangan, maka aku harus menyuapinya. Kalau pakai sendok ia yang harus menyuapiku.
"Kamu sakit gini dah lama, Wuk?" tanyanya santai.
"Udah dari tahun sembilan sembilan. Kenapa?"
"Ndak apa-apa. Tanya aja. Aku lagi cari dokter yang terbaik buat kamu."
"Lah udah, Mas. Orang nggak bisa sembuh juga. Kamu kenapa, sih? Nyesel? Lagian udah tau aku kayak gini masih mau aja."
Aku selalu sensitif bila ada yang membahas penyakitku, bahkan mas Anto sekalipun. Sedih rasanya bila mundur ke masa lalu, di mana aku masih bisa berlari bebas, dan melakukan apa saja yang aku mau.
Sejak rasa gatal yang datang di pagi hari, yang begitu nikmat bila kugaruk namun belakangan malah menjadi merah, bengkak, dan kaku, hidupku berubah.
Belum lagi demam tinggi dan rasa nyeri yang menyertai tiap kali penyakitku kambuh. Dunia serasa runtuh.
Monster itu bisa datang kapan saja. Setelah jari-jari, pergelangan tangan, juga kedua sikuku habis dibuatnya kaku dan terbatas dalam pergerakan, kini kedua lututku membuat aku tersiksa.
"Wuk, kok marah, to? Aku sayang banget sama kamu, Wuk, gimanapun keadaanmu. Tapi apa aku ndak boleh berbuat sesuatu untuk orang yang kusayang?"
Emosiku mereda. Kubiarkan ia mengusap bahu, kepala, dan tanganku. Ia lantas menyuapiku lagi.
"Tehnya, Mas. Teh manis yang nggak manis," kataku mengalihkan pembicaraan.
"Makasih, cintaku, dah hapal seleraku ya, sayang, ya," katanya dengan nada bicara seperti kepada anak kecil. Selalu begitu.
Kebetulan Wanti datang dan langsung menyelonong ke dalam. Ia memang biasa begitu kalau ke rumah kami. Seperti masuk ke rumahnya sendiri.
"Waah, ada si Mas. Kok nggak bilang-bilang gue, lu, Nad," katanya girang begitu melihat mas Anto.
"Idih, emang lu siapa hahaa," balasku.
"Ya sudah. Ayok kalau mau ikut jalan-jalan. Sekarang ditunggu," timpal mas Anto.
"Eh, iya, iya, Mas. Tungguin aku ya, aku pulangin motor dulu. Nanti aku jalan ke sini."