Dalam hidupku, aku terlalu sering mengalami perasaan tak enak hingga lelah batin ini. Perasaan semacam itu biasanya adalah firasat akan terjadinya sesuatu, entah itu masalah, musibah, bahkan kematian.
Pagi itu---aku lupa tanggalnya, tapi itu hari Selasa di bulan Mei 2010. Mas Anto sudah sejak semalam menginap. Ia mengantarku bekerja naik sepeda motor lewat jalur kampung, jadi kami tidak pakai helm dan leluasa mengobrol.
"Mas. Kok perasaanku nggak enak, ya," kataku sambil memeluk punggung besarnya.
"Lha ada apa, to, sayangku?"
"Kalau aku tahu pasti udah kubilang, Mas."
"Ndak ada apa-apa, Wuk, sayangku," katanya menenangkan, tapi gagal.
Yang kurasakan adalah seakan separuh nyawaku belum terkumpul. Seperti orang bangun tidur yang langsung ditanya ini itu. Kepalaku melayang tapi bukan pusing. Pikiranku mudah kosong dan cepat sekali melamun.
"Wuk, nanti istirahat makan di rumah, ya. Kubikinkan sesuatu yang spesial deh pokoknya."
"Iya, Mas."
Tak kusadari aku sudah berada di depan toko. Kucium tangannya seperti yang biasa kulakukan dan bersiap menghadapi faktur yang menumpuk sejak kemarin.
***
Jam dua belas siang, aku pulang naik ojek untuk memenuhi permintaan mas Anto. Tampak asap mengepul di garasi. Mama membukakan pintu belakang untukku.
"Cobo deloken. Ket isuk rung mangan opo-opo (coba lihat, dari pagi belum makan apa-apa)," Mama menunjuk ke arah garasi yang bisa dilihat dari dapur.
Kulihat orang yang tadi pagi mengantarku bekerja. Ia berjongkok menghadapi panggangan. Garasi disulapnya menjadi dapur seafood.
Betapa besar cintanya padaku. Ia rela melakukan hal yang bagi kaumnya menjenuhkan. Sejak pagi belum makan? Bukankah ia juga kurang tidur? Sebab Dhika mengajaknya pergi ke pasar ikan jam tiga pagi.
Masakannya bagiku nomor satu. Semuanya aku suka, semuanya pas, semuanya adalah yang selalu kupesan di restoran. Mas Anto bilang, dalam masa pendidikannya dulu, jangankan memasak, menolong wanita melahirkan pun diajarkan.
"Gaweke teh sik, kono (buatkan teh dulu, sana)," bisik Mami dari belakang. Aku mengangguk.
Kusiapkan gelas besar berpegangan, kubuatkan teh setengah manis--sebab Mas Anto tidak suka yang terlalu manis--untuk beruang kesayanganku itu.
"Muach."
Sebuah ciuman mendarat di pipinya. Kusodorkan teh panas yang segera ia seruput.
"Terima kasih, cintaku."
"Sama-sama, sayangku."
Lima menit kemudian ikan bakar lezat sudah menanti di meja makan. Kuingkari janjiku untuk menyuapinya, padahal makannya pakai tangan.
"Mas, maaf ya, aku buru-buru. Lagi nggak fokus juga."
"Iyup sayangku. Lihat kamu makan lahap aja aku udah seneng, Wuk."
"Mas. Kenapa ya perasaanku nggak enak gini. Kayak nyawanya cuma separuh. Sadar sadar enggak, gitu," ujarku di sela makan.