I Love You, Mas Duda

Dina Ivandrea
Chapter #14

Duka di Langit Solo

Taksi yang menjemput kami dari terminal berhenti di depan rumah mbak Sri, sebelah kanan rumah mas Anto. Bangku-bangku di bawah tenda sudah terisi penuh hingga ke halaman rumah Eyang.

Semua mata memandang takjub ketika kami turun. Aku jadi kikuk, haruskah aku belok kanan, ke rumah Eyang, atau langsung ke kiri menemui keluarga besar mas Anto.

Aku pasrah sewaktu mas Anto menggandengku masuk setelah menyalami tetangga dan orang-orang yang tak mengerti apa artinya kami pulang berdua, sebab sampai saat itu tak ada yang bicara terus terang mengenai hubungan kami walau sepertinya mereka tahu.

Mas Andi, adik sepupu mas Anto yang sudah kukenal datang menyalami kami. Keluarga besar mas Anto kurasa sudah paham akan hubungan kami. Mereka tak banyak tanya.

"Jam berapa dari sana, Nad?"

"Jam tiga sore, Mas."

"Lambat juga, ya, sekarang sudah jam sembilan pagi."

Kubalas kalimatnya dengan senyuman karena mas Anto ingin cepat masuk. Dari belakang, di antara orang-orang yang duduk, kudengar si Sutri bicara, "kok panggil mas to, dik, gitu lho, Nad."

Sutri adalah tetangga yang paling sering terlihat nongkrong di rumah Eyang, bersama Om Koko. Harusnya ia kupanggil "om", tapi aku sedang malas mengetik kata itu. Kutoleh dan kusenyumi juga walau enggan. Hatiku tak karuan, entah apa yang akan terjadi, tapi intuisiku berkata, akan ada yang lebih berat lagi setelah ini.

Kulangkahkan kaki melalui pintu utama yang terbuka lebar menggawangi ruangan besar yang muat diisi empat set kursi tamu dengan gang luas. Kusalami satu persatu orang yang hadir di situ. Jenazah sudah dimandikan dan akan dikebumikan siang nanti.

Mas Anto menatap dalam-dalam wajahnya ibunya. Wajah yang ia tangisi semalam suntuk. Wajah yang sebelumnya telah berjanji akan hadir ke Bekasi untuk meminangku. Wajah yang kubayangkan jadi mertua yang pastinya akan memanjakanku bila sudah jadi menantu. Kini wajah tujuh puluh lima tahun itu tidur dalam damai.

***

Perasaan tak enak semakin mencengkeram saat aku digandeng pulang oleh bulik Karsih yang berkata, "makan dulu, habis itu istirahat. Kalau di sini terus, bisa sampai sore kamu ndak diperhatikan."

Ada nada sedikit marah dalam kata-katanya. Aku agak bingung harus bicara apa. Akhirnya aku ikut saja tanpa berpamitan. Sampai di depan rumah Eyang, seperti dugaanku, kikuk, canggung, serba salah. Ingin menangis rasanya melihat banyak pasang mata menatapku heran dan takjub.

"Waah, perang berakhir no, iki ngko (perang berakhir dong, ini nanti) hahahaa," celetuk salah seorang yang disambut tawa gemuruh.

Ada pakde Hendarso yang menatapku heran. Beliau bertanya juga, "kamu itu ke sini untuk urusan layatan atau tanah?"

Memang eyang Kakung sudah memanggil pulang anak-anaknya untuk membicarakan soal pembagian tanah dan rumah tua itu, supaya tidak menimbulkan keributan jika beliau meninggal dunia, suatu saat nanti.

Aku bingung hendak menjawab apa, tapi mulutku telanjur mengucapkan "tanah."

"Kalau tanah, mana mamamu?" selidiknya.

"Nanti menyusul, Pakde."

Aku jadi ingat, sebelumnya Mama sudah berpesan bahwa kalau ada yang menanyakannya, bilang saja "menyusul". Entah Mama juga punya firasat akan ditanya begitu atau memang sudah ada pembahasan soal itu.

"Oh, ya sudah."

Pakde Hen tampak heran dengan adanya aku di sini. Beliau yang tinggal di Banjarsari tentu datang untuk melayat, sebab rumah mereka berdekatan.Tapi aku, kedatanganku sudah pasti jadi pertanyaan. Kalau bukan untuk menemani mas Anto, tak sudi aku diperlakukan begini.

***

Dan akhirnya, puncak dari segala perasaan tak karuanku pun terjadilah. Aku disidang oleh Pakde Kris. Pakde yang selalu jadi juru bicara di keluarga besar eyang Hadi.

Ketika itu malam mulai merambat. Aku tiduran di sentong berteman kebimbangan. Satu sisi ingin rasanya menemani mas Anto yang sedang berada pada titik kesedihan terdalam. Ia butuh teman. Ia butuh dihibur. Ia butuh ditenangkan.

Namun, bagaimana aku bisa menemani, menghibur, dan menenangkannya jika aku sendiri sedang panik luar biasa? Aku takut menghadapi hari ini, besok, dan seterusnya, terlebih Pakde Krismadyo yang sudah berbulan-bulan terkesan menjauhi kami.

Bulik Karsih sebelumnya sudah berpesan, "sudah, kamu di sini saja. Ndak usah ke sana. Besok saja." Ya sudah. Aku menurut. Jangankan ke seberang. Melongok ke luar pun aku tak berani. Padahal jika pintu sentong ini dibuka, lalu pintu utama juga dibuka, sudah akan tampak situasi di rumah mas Anto.

Aku tak enak hati karena tidak menampakkan diri saat pemakaman, padahal sarean (area makam) hanya beberapa rumah dari rumah Eyang. Sejak siang tadi aku tak berani buka pintu.

Sepi kurasa. Biasanya sepupu-sepupuku, anak Pakde Kris dan anak Om Koko mengerumuniku. Mungkin mereka sedang berjaga di luar. Tiba-tiba pintu sentong dibuka. Pakde Kris datang menyapa. Jantungku melonjak ketakutan. Ini dia saatnya.

"Sedang apa?"

Lihat selengkapnya