Beberapa hari ini aku sedang memulihkan perasaan ke kondisi normal. Mas Anto masih kubiarkan begitu saja. Hanya kalau ia menelepon aku menjawab. Masih sangat sakit bila mengingat ia belum bercerai dengan Rima. Aku jadi sensitif, terutama bila ia sedang di Solo begini.
Hari ini ia tak meneleponku, hanya mengucapkan selamat pagi saja. Kucoba menelepon dan ia tak mengangkatnya juga. Hatiku panas. Kukira ia sedang bersama anak-anak dan ibunya, tentu.
[Km lg apa]
[Knp ga bls]
[Oh, lagi kencan sama ibunya anak2 ya]
[Iya deh. Aku mundur!]
Ia sama sekali tak menggubris pesanku. Itu artinya "putus". Tak apa, mumpung hatiku masih luka. Tapi aku tak bohong jika kubilang aku terbakar rasa curiga. Aku jadi membayangkan lagi sosok mungil berambut ombre itu.
Terngiang lagi obrolan tentang Rima.
"Mas. Si monyet itu cakep, ya? item apa putih? Gemuk apa kurus?" tanyaku.
"Hitam, Wuk. Kecil."
"Ye. Cakep nggak? Kok nggak dijawab."
"Ya cakep, kan, bisa dibikin, Wuk. Masuk salon jelek keluar bisa cantik kok."
"Oh, cakep. Bilang aja langsung nggak usah berbelit-belit."
"Hidungnya mancung mukanya tirus, ya?"
"Kok kamu tau, Wuk? Iya, mukanya tirus. Kepalanya itu ada tulangnya."
"Maksudnya?"
"Iya, di atas kepalanya itu ada tulang keras kaya sirip ikan gitu."
"Cacat?"
"Yo ndak. Memang bentuk kepalanya begitu."
"Ih. Nggak penting banget buat dibahas. Itu dia cakep gitu, kamu balikan lagi aja sama dia, daripada nanti sama aku ingatnya dia terus."
***
Sejak siang hingga lewat jam sembilan malam tak ada kabar hingga akhirnya ia menelepon. Seperti biasa, aku balas dendam. Kubiarkan ia hingga dua hari, hingga ia kembali ke Kalimantan. Hingga Mama turun tangan.
"Koe ki ngopo ngenengke Anto (kamu itu kenapa diemin Anto)?" Mama masuk kamar dan menemukanku sedang santai sepulang bekerja.
"Mbok ben (biarin)!" jawabku cuek, "ngapain ngadu-ngadu segala?"
"Ngadu-ngadu gimana? Kae wonge tibo kae lho ngerti ra (itu orangnya jatuh itu lho, ngerti nggak)?"
"Lah. Kok bisa? Bentar tak (ku) telepon."
Aku tak nyaman sebenarnya bila Mama ikut campur urusan pribadiku. Malu. Aku tak biasa terbuka padanya. Tapi mendengar mas Anto jatuh, aku segera meraih gawai untuk meneleponnya. Terakhir ia menghubungiku satu jam yang lalu. Mungkin setelah itu ia jatuh.
"Jatuh di mana?" tanyaku setelah ia bilang "halo".
"Jatuh dari tangga, Wuk."
"Kok bisa? Parah nggak? Jatuhnya gimana?"
"Iya, Wuk, kepeleset. Yo nggledhak. Mudah-mudahan ndak apa-apa. Ini masih di klinik kantor."
(Nggledhak: jatuh telentang dengan kepala membentur lantai)
"Hmh. Kamu itu nggak bisa mandiri apa gimana, sih? Tiap didiemin adaa aja ceritanya. Dulu kepeleset naik motor, belum lama jatuh di rumah, terus ini jatuh lagi aja. Kalau nggak ada aku, mau jatuh berapa kali sehari, kamu?"
"Maaf, Wuk."
"Mbuhlah (entahlah)!"
"Wuk. Dua hari ini aku kehilangan waktu, Wuk."
"Maksudnya?"
"Karena kamu ndak bisa dihubungi, Wuk."
"Ya kalau aku nggak bisa dihubungi, bukan berarti aku habis pulsa, Mas. Kamu isi sejuta sekalipun aku nggak bakal bales SMS kalau kamu terus-terusan ngulang kesalahan yang sama."
"Maaf, Wuk. Kan aku udah bilang kemarin ndak megang HP sama sekali. Keteteran ngurus tujuh harian Ibu, Wuk."
"Bukan alasan. Kamu bisa SMS sekali aja, bilang sibuk atau apa. Gitu tuh orang kalau nyepelein. Nggak mikir akunya kuatir, cemas, takut kenapa-napa. Sekarang kenapa-napa beneran, kan."
"Iya, Wuk. Eh, Wuk. Aku ada ide."