"Wuk. Aku udah sign kontrak ke China, jadwalnya enam dua, Wuk. Gaji lima kali yang di Kalimantan, di luar segala tunjangan dan asuransi, Sayang," kata mas Anto.
"Hah? Enam bulan?" tanyaku kurang konsentrasi, sebab aku sedang mengisi saldo di agen pulsaku.
"Enam minggu, Wuk, Sayang, mmuach."
"Eeh, kirain. Terus, kapan mulai berangkat?"
"Dua minggu lagi, Wuk. Ke Singapura dulu.
"Eeh, hehe. Aku lagi isi saldo, Mas. Dua juta langsung."
"We, lha, cepet men (cepat sekali), Wuk?"
"Iya, Mas. Yang utang tinggal kamu doang, lho, heheh."
"Hahaha, iya iya, Sayang. Pasti tak bayar."
"Nggak, Mas. Aku becanda doang, kok."
"Ndak, Sayang. Harus bisa profesional, dong."
"Hmm ... Jadi malu."
"Ndak apa-apa, Sayang. Oh iya, Wuk. Di asuransi namamu tak tulis, Wuk."
"Loh, kok bisa? Kan, kita belum nikah? Maksudnya apa? Aku nggak mau ya, kena masalah di kemudian hari gara-gara kamu!"
Aku kaget dan marah. Bagiku itu terlalu berani. Mas Anto sudah beberapa kali kedapatan melibatkan namaku tanpa minta persetujuanku dulu. Aku tak mau kena masalah. Aku tak ingin orang menilaiku salah.
"Maaf, Wuk. Maksudku, kalau ada apa-apa sama aku, kamu sama anak-anak yang berhak menerimanya."
Astaga. Ternyata mulia sekali hati orang ini. Dan aku selalu saja salah paham. Kadang aku benci diriku yang mudah terbakar emosi.
"Huh. Bilang dong, Mas. Lagian jangan ada apa-apalah, amit-amit."
"Lha ini aku bilang to, Wuk."
"Ye, maksudnya tanya aku dulu sebelumnya."
"Iya, Wuk, Sayangku. Nanti sebelum jalan kita ketemu dulu, ya."
"Iyaa. Ya udah. Udah dulu ya, Mas. Aku mau pulang dulu."
"Iyup, Mami. Mmuachh. Daadaa, Sayang, mmuachh."
"Muach."
***
Bekasi, pertemuan terakhir sebelum ia berlayar.
Mas Anto menyisiri rambut panjangku yang pernah ingin kupotong namun ia larang. Ia selalu melakukannya dengan senang hati tiap kali datang. Ia menjepit separuh rambutku, dan membiarkan separuh lagi terurai.