"Ntar kalau punya duit gua bayar! Gua mah nyari duit halal nggak pakai lendir!"
Terdengar teriakan Nuri, tetangga sebelah kanan rumah Nindy. Kata-katanya tajam menusuk telinga. Kata Mama, dia begitu sejak utangnya ditagih. Utang pada Mama yang sudah hampir tiga tahun seolah sengaja dilupakan.
Kemarin, Mama memang menyindirnya, sebab Nuri habis dapat uang dan ia serta keluarganya terlihat jajan ini itu tanpa ingat utangnya. Beda jauh dengan janjinya saat meminjam dulu. Padahal itu uang belanja Mama yang disisihkan sebagai tabungan.
Bukan Mama serakah, tapi utang memang harus tetap dibayar, bukan?
Namun, tak adil rasanya kalau aku ikut disindirnya. Aku salah apa? Memangnya dia lihat caraku cari uang? Aku tidak seperti yang ia katakan! Ingin aku keluar dan menyobek mulut busuk itu tapi Mama mencegah.
TONG TONG TONG. Drum tempat sampah dipukulinya pakai kayu.
"Gua mah nyari rejeki halal nggak modal ngangkang doang kayak lo!" teriak Nuri lagi.
Nindy mengirim pesan singkat, menanyakan ada apa lagi dengannya. Ia tak berani keluar rumah. Glenn ia gendong karena takut Nuri mengamuk.
Sebenarnya semua tetangga tahu Nuri itu stress. Sudah stress, sedikit tuli pula. Ia sering salah paham dengan tetangga. Pernah ada uang bilang "jatuh jemurannya", tetapi yang Nuri dengar adalah kata "nyonya". Alhasil ia mengomel seharian, menebar energi negatif.
"Ma, itu dia udah berapa lama kayak gitu?" tanyaku.
"Yo wis suwe, setaun enek. Nek pas kerjo, sih, mending, sepi. Nek koyo ngono kuwi biasane lagi ra ndue duit (ya sudah lama, setahun ada. Kalau sedang bekerja, sih, mendingan, sepi. Kalau lagi begitu itu biasanya sedang tak punya uang)," jelas Mama."
"Kok aku nggak tau?"
"Yo rung ngerti ae (ya belum tau saja)," jawab Mama.
Ternyata banyak yang terjadi di rumah selagi aku masih bekerja. Mama dan Nindy sepertinya sengaja tidak bilang karena takut aku kepikiran.
Untunglah di rumah ini aku masih punya kesibukan yang bisa mengurangi rasa jenuh dan muak, berjualan pulsa. Kalau tidak, pasti aku ikut stress. Dengan modal dua juta, aku bisa memutar uangnya dalam waktu beberapa hari saja.
Lumayan untuk menambah uang saku, juga menutup mulut orang bahwa aku makan gaji buta, padahal iya, karena mas Anto sudah menggajiku dua juta sebulan. Tapi Nuri adalah masalah baru.
Ia adalah ibu rumah tangga beranak tiga. Hidupnya bisa dikatakan morat-marit. Suaminya kerja serabutan hingga ia tak jarang turun tangan menjadi buruh cuci, pengasuh anak, buruh pengupas bawang, dan lain-lain yang bisa ia kerjakan.
Sayang, sikapnya membuat orang tak simpati. Hampir satu blok di perumahan ini sudah dimusuhinya, dan ia merasa dirinyalah yang tersakiti. Bagiku ia adalah iblis berbentuk tetangga yang setiap saat menguji manusia di sekitarnya.