Setelah semua yang menghantam jiwaku, ada duka lagi di langit Solo! Eyang kakung pergi untuk selamanya. Padahal dengan meninggalnya bude Surti, aku dan mas Anto harus mengubah banyak rencana untuk hari depan, salah satunya adalah mendamaikan dua kubu yang bertikai.
Tanpa bude Surti, Eyang kakunglah satu-satunya harapan kami. Barangkali jika orang tua yang bicara mereka mau dengar. Nyatanya beliau pun pergi mendahului kami. Musnah sudah hadapanku.
Pagi itu langit tampak kelabu. Aku malas beraktifitas, hanya bermain game saja di gawai canggih pemberian mas Anto. Gawai seharga lebih dari dua kali isi saldo pulsaku.
Sejak ada mas Anto, Mama tak lagi sering marah padaku walau pekerjaan rumah belum selesai. Mungkin karena hatinya tenang, tak lagi memikirkan bagaimana membayar ini itu anu dengan uang pas-pasan.
Kira-kira jam sepuluh pagi, gawaiku berdering. Mas Anto.
"Wuk, kamu sama Mama siap-siap, aku kirim uang untuk naik pesawat."
"Mas. Eyang, ya?"
"Iya, Wuk. Jam setengah sembilan tadi."
Baiklah. Akhirnya tiba sudah waktunya. Aku sama sekali tidak terkejut. Justru pikiranku penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setibanya kami di sana. Bagaimana menghadapi keluarga mas Anto, bagaimana bersikap di depan pakde Kris, juga bagaimana mengatur bahasa tubuh saat ada mas Anto.
"Ma, mas Anto telepon. Kita disuruh naik pesawat biar cepet," kataku dari dalam pagar.
Mama sedang menyiram bunga di pot-pot pinggir got menjawab, "Eyang, ya?"
"Iya."
"Aduh."
Mama tergesa masuk. Memang selalu begitu kalau diperhadapkan dengan sesuatu yang buru-buru, hingga aku memutuskan untuk naik bus saja, sebab kabarnya Eyang akan dimakamkan sehabis zuhur. Jelas tak terkejar sekalipun naik pesawat, sebab perjalanan Bekasi-Cengkareng bisa memakan waktu tiga jam lebih, belum lagi Jakarta-Solo yang kurang lebih lima puluh lima menitan.
Ada yang lucu. Jam satu siang kami tiba di agen bus dan dapat bus kelas VIP. Biasa, pergi dengan Mama, bekal nomor satu, apalagi sejauh itu. Jadilah kami bawa nasi bungkus, satu untuk berdua dengan porsi jumbo. Lauknya cukup ayam goreng ala Mama dengan sambal kemasan kecil.
Belum lagi bus sampai ke jalan raya untuk berputar arah menuju jalan tol, kami cekikikan berdua.
"Ma, iseng nih."
"Iya. Lha mau makan apa?"
"Cemilan nggak nampol, Ma. Buka ya nasinya."