Setelah selesai acara tiga harian Eyang---aku masih di Solo sampai selesai acara tujuh harian---mas Anto yang baru pulang tadi siang mengajakku jalan-jalan ke mall bersama anak-anak. Kukira itu ide yang bagus untuk saling mendekatkan diri.
Aku mengiyakan meski takut terlihat atau terdengar oleh Pakde Kris. Bulik Karsih menyuruh Heri untuk menemani dan menjagaku. Pergilah kami berlima. Aku, Heri, mas Anto, Angga, dan Dimas, dua sepeda motor.
Sungguh tak terbayangkan yang selanjutnya terjadi. Mas Anto sama sekali tak menggubrisku. Ia terus saja berjalan di depan, menggandeng anaknya yang besar memilih ini dan itu.
Sementara itu, aku dan Heri mengikuti dari belakang macam pengawal dan ia sama sekali tidak merespon keberadaan kami! Ia terus saja asyik dengan anaknya.
Dimas, anaknya yang nomor dua, sesekali kugandeng karena ia tampak ingin bersamaku. Itupun mas Anto sama sekali diam. Aku mendahuluinya pun ia diam. Jadi tak ada komunikasi sama sekali antara kami berdua. Sama sekali tak ada. Aneh. Aku muak dan ingin pulang.
Lama sekali aku menemani mereka memilih mainan, akhirnya mataku melihat sendiri mas Anto membelikan Angga helikopter remote control yang harganya fantastis. Bukan soal uang, tapi aku ditawari daster pun tidak! Kami, aku dan Heri cuma menonton saja helikopter itu didemokan hingga dibayar.
Heri tak banyak bicara, sepanjang jalan ia terus saja di sisiku dan ikut diam, tak ada celetukan dan candaan khas keluar dari mulutnya, seakan ikut merasakan kesesakanku saat itu. Hampir dua jam kami membuntuti ayah dan anak itu hingga ke sebuah restoran dan mas Anto tetap diam.
Kami duduk di satu meja berkeliling. Aku berhadapan dengan Angga dan mas Anto, Dimas di sebelah kiriku, Heri di sebelah kananku. Sungguh tak bisa dipercaya, mas Anto tidak menawariku apapun! Ia malah menyuruh anaknya menanyakan apa mauku. Benar-benar tak bisa kuselami apa maunya.
Aku memilih untuk tak makan, tapi Heri mendesakku, jangan begitu, katanya. Akhirnya aku memesan nadi goreng. Tak enak. Tak kuhabiskan. Bukan nasi gorengnya yang tak enak, tapi suasana malam itu. Aku menyudahi makanku. Kuteguk lemon tea yang kupesan lalu berdiri melihat jalan raya dari ketinggian, sebab itu memang lantai tiga.
"Gila. Nggak nyangka tuh orang kayak gitu. Nggak kenal aku sama dia, dari tadi asyik aja sama anak-anaknya, aku kayak nggak ada," kataku ketika Heri menghampiri.
Ia tak banyak bicara, hanya mengusap punggungku dan bilang "sabar". Dan mas Anto, ia sama sekali tak bereaksi! Ia tetap asyik dengan kedua anaknya sementara mataku mulai banjir. Sesak sekali. Ingin aku segera mendampratnya namun kutahan. Aku akan diam dulu.
Saat aku merangkul lagi Dimas yang masih delapan tahun---kakaknya umur dua belas---mas Anto pun diam. Padahal ia ada di belakang kami dan melihat, pasti melihat. Ingin kumaki rasanya.
Keadaan itu berlangsung hingga tiba di rumah. Mataku bengkak, namun kututupi. Mungkin sudah tertebak apa yang kulakukan selanjutnya. Ya. Aku diam. Tak menggubris keberadaannya. Ia datang aku pergi. Ia bicara aku buang muka.
Dalam keadaan seperti itu pun ia tak ada inisiatif untuk bertanya ada apa. Hanya diam saja, membuat kepalaku tambah sakit. Ia benar-benar diam. Akhirnya aku bicara lewat pesan singkat, minta jalan berdua keesokan harinya, sepagi mungkin. Ia hanya menjawab "iya." Aku jadi dendam. Lihat saja besok.
***
Kira-kira pukul tujuh pagi, ia datang menjemput. Orang-orang di rumah masih terbuai mimpi, kecuali bulik Karsih. Aku diajaknya ke suatu tempat, sebuah pintu air besar. Sepanjang jalan ia banyak menyapa dan disapa. Ada juga yang menatap aneh.
Setibanya kami di sana, tampaklah pemandangan yang sangat indah bagiku, sebab aku baru melihat yang namanya pintu air dari jarak yang begitu dekat, bahkan berdiri di atasnya.
"Gimana, Wuk?"