Sudah sore. Aku masih ingin mengerjai mas Anto. Aku minta diantar ke desa asal Papa yang jaraknya hanya terhalang satu desa saja. Masih ada banyak saudara, juga adik Papa yang bungsu, bulik Herlin, dan keluarganya. Mama dan Nindy besok pagi mau datang juga.
Di desa penghubung, aku minta berhenti di warung makan. Maksudnya ingin menyuapi mas Anto, sebab ia belum makan sejak pagi. Biasa, ia memang begitu kalau kumusuhi.
"Mas. Aku pengen nyuapin kamu untuk yang terakhir kalinya. Mampir di warung, ya."
Ia diam saja. Hanya deru sepeda motor yang menjawab tanyaku. Aku heran kenapa mas Anto tak berusaha mengambil tanganku dengan tangan kirinya. Biasanya, kalau sedang marah, aku tak sudi memeluknya. Kalau sudah begitu, tangan kirinya akan bergerilya mencari kedua tanganku yang kusembunyikan di belakang atau kulipat di dada. Tapi kali ini nihil.
Ia menemukan warung makan kecil di tengah area persawahan. Sepi. Kebetulan, bisa bebas menyuapinya. Sepiring nasi dengan sambal krecek dan tempe tahu bacem telah kupilih untuk mengisi usus.
Aneh. Ia diam saja. Padahal aku sudah tak tahan ingin memeluk karena tak tega melihat mimik wajahnya. Kalau begini terus bisa mentah lagi hatiku. Kupanas-panasi ia agar mau buka suara.
"Udah, ya, ini disuapin yang terakhir. Warung ini jadi saksi kalau aku pernah jalan sama kamu."
Ah. Ia hanya menunduk, memandang ke luar, dan sebentar-sebentar melirik ke arahku. Apa sebenarnya yang ia pikirkan? Hanya membuatku tambah kesal saja.
Menyelesaikan makanan, menuju rumah masa kecil Papa, bertemu dengan sanak saudara, lalu pamit pulang sebelum Magrib datang, semua dilakukan bersamanya tanpa banyak bicara hingga akhirnya ia tak tahan juga.
Di tengah jalan tangan kirinya menggerayang ke belakang sementara tangan kanan tetap memegang setir. Lagi-lagi aku jual mahal. Kuamankan kedua tanganku dalam dekapan. Ia membongkar lipatan tanganku dan berhasil menarik tangan kiriku lalu meletakkan telapak tanganku di perutnya.
Ia kemudian menyilangkan tangan kirinya dan berusaha meraih tangan kananku di belakang hingga tubuhnya hampir menghadap ke kanan. Berhasil juga. Tangan kananku ia letakkan di perutnya. Tapi aku masih ingin iseng.
Kucabut lagi tangan kiriku hingga ia meraihnya lagi, meletakkan telapak tanganku di perutnya. Jadi telapak tangan kiri ada di atas punggung tangan kanan. Ketika aku pura-pura ingin mencabutnya, ia menumpukkan telapak tangan kirinya yang besar ke atasnya.
Di tengah area sawah ia menghentikan sepeda motor. Meminta maaf padaku dan berjanji tak akan mengulangi hal itu. Aku menang. Kasih sayangku kembali tercurah, seakan lebih besar dari sebelumnya.
Kata orang, kalau habis bertengkar, biasanya jadi lebih sayang. Mungkin benar, mungkin juga karena ada rindu yang tertahan. Rindu bagaikan aliran air deras yang disumbat beberapa saat. Begitu dibuka kembali, terjadi ledakan banjir besar yang melanda hatiku.
Lalu, apa yang selanjutnya terjadi di tengah sawah? Tak ada apa-apa, hanya peluk dan cium mesra yang kuhentikan sebelum terjadi hal-hal yang diinginkan. Memang aku menginginkannya, tapi aku masih bisa mengendalikan diri. Selama ini aku hanya menyelesaikannya di kamarku, sendiri.
***
Malam yang kembali indah, namun tidak bagi om Koko. Beliau masih saja menggerutu karena kehilangan satu teman main kartu. Tiga hari sudah mas Ratno tak datang dan malah masuk ke rumah seberang, kecuali urusan Eyang.
Sebelumnya sudah kutanyakan hal itu pada mas Anto, ternyata mas Ratno bekerja mengurus kolam ikannya mbak Yul yang ada di halaman belakang. Masalahnya, mbak Yul seperti sengaja memanas-manasi om Koko agar merasa dijauhi. Sementara om Koko juga sifat kekanak-kanakannya tak kunjung hilang.
Mas Anto pun ikut dimusuhinya. Beliau menyindir-nyindir memanaskan telingaku di depan saudara-saudara yang belum pulang. Aku melipir ke samping dan mendekati Heri yang melampiaskan kekesalannya dengan menonjok tembok samping rumah.
"Gilo aku karo kelakuane wong loro kuwi (jijik aku dengan kelakuan dua orang itu)!" katanya saat kuhampiri.
"Mas Anto emang punya salah apa sama om Koko?" pancingku.