Aku menyapu halaman rumah Eyang yang penuh dengan sampah dari pohon teh-tehan, pagar hidup peninggalan Eyang kakung. Ujung mataku menangkap sesuatu yang ganjil.
Mbak Sri yang biasanya ramah dan suka mengajak ngobrol mengenang masa kecilku, sekarang jadi ketus. Tak mau lagi menyapa. Sekali bicara, keluarnya seperti tamparan. Pagi itu ia sedang duduk di terasnya, lalu bangkit dan berjalan mendekatiku.
"Nek nyapu ki sing resik, piye arep dadi bojone uwong, nyapu we ra isoh (kalau menyapu itu yang bersih, bagaimana mau jadi istri orang kalau menyapu saja tidak bisa)!"
Aku melongo. Tak percaya akan apa yang baru saja kudengar. Apa maksudnya ia bicara begitu? Kupikir ini ada kaitannya dengan rumor brengsek itu. Aku malah segera menyudahi pekerjaanku dan masuk rumah dalam kegeraman.
Rumor brengsek itu telah menelanjangi harga diriku. Pantas saja tiap orang menatapku aneh. Bukan mataku tapi perut. Kutanya beberapa orang jawabannya sama, mbak Yul. Kata mbak Yul. Lihat saja.
"Wuk, mbak Yul mau bicara, Wuk," kata mas Anto lewat telepon.
Ia sedang dalam perjalanan pulang setelah semalam menginap di Salatiga, di rumah mas Seto. Ia mengaku kesal dengan sikap kakaknya itu.
"Kebetulan, aku juga mau bicara."
Aku siap melabrak calon kakak iparku itu. Segera aku menyeberang, kupastikan orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Rumahnya sepi, tak tampak anak-anak. Mungkin mereka sekolah, sebab Susan juga sekolah.
"Bu, ada mbak Yul?" tanyaku pada pembantu di situ.
"Oh, iya. Sini, Mbak."
Ia membuka telapak tangan kirinya ke arah kamar di sebelah kananku. Rupanya itu kamar mbak Yul. Bagiku pintu dibukakan dan aku dibimbing masuk, lalu didudukkan di kursi empuk yang mudah digeser karena ada rodanya.
Kamar yang mirip gudang. Banyak tumpukan kardus, gantungan plastik, dan rak sepatu yang penuh sesak dengan high heels. Jangankan memakai, melihatnya saja aku sudah sakit betis.
Lumayan lama aku menunggu. Ada rasa gentar di hati ini, sebab ia memang menakutkan. Sosoknya tinggi besar, suaranya mirip lelaki, dan cara berjalannya bagai ayam jantan yang sedang membusungkan dada.
"Mbak Nadya, kebetulan saya mau bicara," ia masuk dan mengambil posisi duduk di tepi ranjang, berhadapan denganku.
"Iya, Mbak. Saya juga mau bicara," jawabku santai.
"Begini, ya. Anto itu orang yang ndak punya prinsip, ndak punya pendirian. Dia ndak bisa nyimpan uang. Orang-orang dia kasih, dia sendiri kekurangan. Kalau mbak Nadya mau tau, Anto itu ndak punya apa-apa. Jangankan tanah, rumah pun ndak punya."
"Katanya punya tanah. Itu, yang di Salatiga?" tanyaku setengah menguji.
"Itu tanah milik anak-anak. Sudah diatasnamakan anak-anak. Jadi Anto itu ndak punya apa-apa."