Tahun 2010 berlalu, tahun 2011 datang, dan kami masih tetap sama. Hari demi hari dijalani dengan pemberian demi pemberian, jalan-jalan ke tempat yang tinggal tunjuk, makan apapun yang diinginkan, menginap dan bermain percikan api, menebalkan muka dan telinga atas omongan tetangga, dan bertahan melawan arus pembicaraan keluarga.
Itu saja yang kulakukan hingga rasaku timbul tenggelam. Aku ingin putus tapi takut putus. Dan mas Anto, ia tak pernah bergerak maju, sepertinya karena disetir keluarga. Semua sudah muak dengan keadaan ini. Aku butuh inisiatif darinya sebab aku bimbang.
***
Akhir tahun 2011, setelah sekian lama aku meminta, memohon, juga memaksa, akhirnya mas Anto menyelesaikan juga hubungannya dengan Rima. Ia mengatakannya padaku setelah prosesnya selesai.
"Talak berapa, Mas?" tanyaku malas, tapi penasaran.
"Langsung tak (ku) habiskan, Wuk."
"Talak tiga?"
"Iya. Bapaknya ndak setuju, katanya, jangan dihabiskan, To. Aku bilang ndak bisa, sudah ndak mungkin bersatu, apapun alasannya," katanya mantap.
"Kenapa nggak dari dulu, Mas?"
"Maaf, istriku."
***
Setelah mas Anto resmi bercerai, hatiku justru semakin ragu untuk melangkah lebih jauh bersamanya. Ada banyak hal yang tak mungkin bisa terwujud, padahal itu adalah sesuatu yang kuimpikan sejak dulu.
Setiap perempuan pasti punya angan-angan tentang hari pernikahannya nanti. Kalau aku, sejak remaja aku memimpikan pesta pernikahan sakral yang kental dengan adat Jawa.
Aku ingin pakai dodotan agar kulit putihku terlihat bersinar. Aku ingin ada malam midodareni. Ingin ada proses siraman. Ingin ada prosesi injak telur. Semua rangkaian acara pesta pernikahan adat Jawa, aku memimpikannya.
Tapi aku telanjur disusupi pikiran-pikiran jahanam. Hatiku terganggu oleh ketakutan-ketakutan yang sebenarnya kubuat-buat sendiri. Aku takut tak jadi nomor satu di hati Mas Anto. Kalau hanya pacar, seribu mantan pun tak kuhiraukan karena aku yang menang. Tapi ini istri. Segala sesuatu yang dilakukan bersama istri adalah moment pertama dalam hidup dan aku mengingini itu.
Dalam kedengkian aku terus membayangkan kemesraan yang dinikmati Rima. Berbulan madu untuk pertama kali, tidur dengan istri untuk pertama kali, mencicipi masakan istri untuk pertama kali, jadi bapak untuk pertama kali. Semua yang pertama adalah untuk Rima, bukan untukku. Aku marah, aku kecewa, aku uring-uringan.
Kalau saja kaum autonyinyir tidak memanas-manasi dengan perkataan yang menggelayuti batinku, mungkin aku tak jadi segusar ini. Aku memang labil. Entahlah. Tapi cintaku telah berubah wujud menjadi obsesi.
Semakin kubayangkan, semakin gusar aku pada Rima. Sayangnya seringkali di saat yang sama mas Anto telepon. Jadilah ia sasaranku lagi, lagi, dan lagi.
"Halo sayangku, kasihku, cintaku, mamiku, istriku, mmmuach."
Tak cukup "halo", itulah kalimat pembuka di setiap teleponnya. Dan tiap kali aku sinis menjawab dengan "hmm" saja, seperti biasa, ia peka.
"Ada apa, to, sayangku?" nada bicaranya tak pernah tidak seperti kepada anak kecil. Aku jadi leluasa merajuk.